Kamis, 22 Desember 2016

Link Audio Kajian Islam Ilmiyyah di Kota Jombang Robiuts tsani 1438 H

Update
Audio rekaman 🔊📥

KAJIAN ISLAM ILMIYYAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH KOTA JOMBANG


🗓 Hari ahad, 09 Robiuts tsani 1438 H /  8 Januari 2016 M di Masjid Ma'had Ar Risalah Jombang

💺 Pemateri AlUstadz Muhammad Rijal, lc hafizhahullah.

↘📥unduh kajian :

🔹 Taushiyah ba'da isya
📥http://bit.ly/2iU4hUQ

🔹 Taushiyah ba'da subuh
📥 http://bit.ly/2j0uPmz

🔹  FITNAH AKHIR ZAMAN  Berita dan Bimbingan
Sesi 1
📥http://bit.ly/2i5eD6W

🔹 FITNAH AKHIR ZAMAN  Berita dan Bimbingan
Sesi 2
📥http://bit.ly/2jk9kNe

🔆Wa Salafy Jombang🔆
Share:

Jumat, 09 Desember 2016

Pesona Malu Wanita Mulia

Pesona Malu Wanita Mulia

Oleh: Al-Ustadz Marwan

Malu adalah bagian dari keimanan. Tidaklah malu tersemat pada satu pribadi melainkan menjadi kebaikan baginya. Malu akan menginspirasi seseorang untuk berhias dengan berbagai perilaku mulia. Rasulullah n menuturkan, sebagaimana disebutkan secara otentik dalam hadits riwayat Muslim,

الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ شُعْبَةً، فَأَعْلَاهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيمَانِ

“Keimanan itu memiliki tujuh puluh lebih cabang. Cabang tertinggi adalah ucapan La ilaha illallah, sedangkan cabangterendah adalah menghilangkan gangguan dari jalan. Sifat malu adalah salah satu cabang keimanan.”

Malu adalah salah satu cabang keimanan. Cukuplah hal ini menunjukkan kemuliaan sifat malu. Orang yang memiliki sifat malu akan tercegah dari hal-hal yang tidak layak diperbuat. Tidak adanya rasa malu menunjukkan lemahnya keimanan seseorang. Sebaliknya, memiliki rasa malu menunjukkan sempurnanya keimanan seseorang.

Malu adalah salah satu akhlak para malaikat, sebagaimana termaktub dalam sabda Rasul n tentang Utsman bin ‘Affan a,

أَلَا أَسْتَحِي مِنْ رَجُلٍ تَسْتَحِي مِنْهُ الْمَلَائِكَةُ

“Tidakkah aku malu kepada seseorang yang malaikat merasa malu kepadanya?”

Al-Imam an-Nawawi t menukilkan perkataan para ulama tentang hakikat malu, “(Malu) adalah perilaku yang memberikan motivasi untuk meninggalkan kejelekan dan mencegah tindakan mengurangi hak orang lain.”



Malu adalah Akhlak Warisan Para Nabi

Rasul kita, Muhammad n, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amir al-Anshari a, bersabda,

إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى: إِذَا لَمْ تَستَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ

“Sesungguhnya, di antara ucapan nabi-nabi terdahulu yang didapati oleh manusia adalah, ‘Jika kamu tidak memiliki rasa malu, lakukan apa saja yang kamu suka’.”

Hadits ini menunjukkan bahwa seruan untuk memiliki sifat malu saling diwariskan oleh orang-orang pada masa lalu; diambil dari para nabi terdahulu, lalu mengalir secara estafet dari generasi ke generasi, dan sampailah pada umat Rasulullah n. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa salah satu warisan dakwah para nabi terdahulu adalah seruan untuk memiliki sifat malu. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Rajab al-Hambali t dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam.

Ada kisah penuh faedah tentang Nabi Musa q ketika berada di negeri Madyan. Disebutkan dalam firman Allah l,

ﮋ ﭝ  ﭞ  ﭟ  ﭠ  ﭡ  ﭢ  ﭣ  ﭤ     ﭥ   ﭦ  ﭧ  ﭨ  ﭩ  ﭪ  ﭫﭬ   ﭭ  ﭮ  ﭯﭰ  ﭱ  ﭲ  ﭳ  ﭴ  ﭵ  ﭶﭷ  ﭸ   ﭹ  ﭺ  ﭻ  ﭼ  ﭽ  ﭾ  ﭿ  ﮀ    ﮁ  ﮂ    ﮃ  ﮄ       ﮅ     ﮆ  ﮇ    ﮈ   ﮉ    ﮊ  ﮋ  ﮌ  ﮍ         ﮎ  ﮏ  ﮐ  ﮑ  ﮒ   ﮓ  ﮔ  ﮕ         ﮖ   ﮗ  ﮘ  ﮙﮚ  ﮛ  ﮜ  ﮝ  ﮞ  ﮟ     ﮠ   ﮡ  ﮢﮣ  ﮤ  ﮥ  ﮦ     ﮧ  ﮨ  ﮊ

 “Tatkala sampai di sumber air negeri Madyan, ia (Musa) menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang memberi minum (ternak). Ia menjumpai di belakang orang banyak itu dua orang wanita yang sedang menghambat (ternakmereka). Musa berkata, ‘Apakah maksudmu (berbuat begitu)?’ Kedua wanita itu menjawab, ‘Kami tidak dapat memberi minum (ternak kami) sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternak mereka), sedangkan bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya.’

Musa pun memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya, kemudian dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa, ‘Ya Rabb-ku, sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.’

Kemudian, datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu, berjalan dengan malu-malu. Ia berkata, ‘Sesungguhnya bapakku memanggilmu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami.’ Tatkala Musa mendatangi bapaknya dan menceritakan kepadanya (mengenai dirinya), bapaknya berkata, ‘Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu’.” (al-Qashash: 23—25)

Kalimat “…salah seorang dari kedua wanita itu berjalan dengan malu-malu” menunjukkan akhlak baik wanita tersebut. Sebab, malu adalah salah satu akhlak mulia, terkhusus pada diri seorang wanita. Menurut ‘Umar a, sebagaimana riwayat Ibnu Abi Hatim, dengan sanad yang shahih: “Wanita itu datang memanggil dengan malu-malu, sambil menutupi wajahnya dengan kainnya. Bukan wanita ‘berani’, yang suka keluar masuk (menemui laki-laki).” Ayat tersebut juga menunjukkan bahwa tindakan Nabi Musa q menolong keduanya memberi minum ternak tidaklah seperti yang dilakukan oleh buruh upahan atau pelayan yang pada umumnya orang tidak merasa malu kepada mereka. Akan tetapi, pertolongan yang diberikan oleh Nabi Musa q bersumber dari kemuliaan jiwanya. Si wanita melihat kebaikan dan kemuliaan akhlak Nabi Musa q, sehingga tumbuhlah rasa malu pada dirinya kepada beliau q.

Salah satu faedah besar yang terdapat dalam ayat yang mulia di atas, kedua putri orang saleh dari negeri Madyan[1]tersebut memiliki sifat pemalu. Sifat ini tumbuh dan bersemi sebagai hasil bimbingan keluarga yang telah mendidik akhlak mereka. Mereka telah dididik agar memiliki akhlak malu dan menjaga kehormatan diri.

Maka akhlak mulia yang seyogianya senantiasa menghiasi diri seorang wanita adalah sifat malu. Tidak sepantasnya sifat ini ditanggalkan dari jiwa seorang wanita. Oleh karena itu, setiap orang tua atau wali seorang wanita bertanggung jawab mendidik putri-putrinya agar menjaga sifat malu yang menjadi fitrahnya. Sebab, malu adalah pesona dan perhiasan wanita, apabila tercabut, tercabut pulalah seluruh kemuliaan si wanita.

Diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dari Ibnu ‘Umar c, beliau menuturkan, “Sesungguhnya, sifat malu dan keimanan itu selalu bergabung secara keseluruhan. Jika hilang salah satu dari keduanya, hilanglah semuanya.”

Artinya, hilang keagungan dan kesempurnaannya.

Malu adalah Akhlak Rasulullah n dan Para Sahabat

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri a, ia mengatakan, “Rasulullah n sangat pemalu, melebihi gadis-gadis pingitan di tempat pingitan mereka. Jika Rasulullah n tidak menyukai sesuatu, kami bisa mengetahuinya dari raut wajah beliau.”

Gadis pingitan adalah gadis yang ditempatkan di ruangan khusus di dalam rumah. Gadis tersebut merasa sangat malu ketika dinikahi oleh seorang pria dan berduaan untuk pertama kalinya dengan suami yang baru saja dikenalnya. Sifat malu Rasulullah n lebih besar daripada sifat malu gadis pingitan tersebut.

An-Nawawi t mengatakan, “Nabi n tidak berbicara tentang sesuatu yang tidak beliau sukai. Hal ini disebabkan oleh sifat malu yang beliau miliki. Ketika tidak menyukai sesuatu, raut wajah beliau berubah, sehingga ketidaksukaan beliau tersebut bisa diketahui.”

Diceritakan oleh ‘Aisyah c bahwa suatu ketika, Rasulullah n pernah berbaring di rumahnya dalam keadaan tersingkap dua paha atau dua betis beliau. Kemudian Abu Bakr meminta izin untuk menemui Rasulullah n. Rasulullah n pun mengizinkan Abu Bakr untuk masuk, sedangkan beliau tetap seperti itu. Lalu Abu Bakr berbincang-bincang dengan beliau.

Kemudian, ‘Umar a juga meminta izin. Rasulullah n mengizinkan ‘Umar untuk masuk, dan beliau masih seperti itu. ‘Umar pun berbincang-bincang dengan beliau.

Lalu datanglah ‘Utsman a meminta izin untuk menemui beliau. Rasulullah n langsung duduk dan segera membenahi pakaiannya.  ‘Utsman a pun masuk dan berbincang-bincang dengan beliau.

Tatkala ‘Utsman a telah keluar, ‘Aisyah berkata, “Abu Bakr masuk menemuimu, namun engkau tidak bersiap menyambut dan tidak memedulikannya. Begitu pula ‘Umar masuk menemuimu, engkau juga tidak bersiap menyambut dan tidak memedulikannya pula. Namun  ketika ‘Utsman masuk, engkau segera duduk dan membenahi pakaianmu.”

Rasulullah n menjawab, “Tidakkah aku malu kepada seseorang yang para malaikat malu kepadanya?” (HR. Muslim no. 2401)

Dalam riwayat yang lain, Rasulullah n berkata, “Sesungguhnya ‘Utsman sangat pemalu. Aku khawatir, jika aku mengizinkannya (untuk menemuiku) sedangkan aku dalam keadaan seperti itu, ia tidak bisa menyampaikan keperluannya kepadaku.” (HR. Muslim no. 2402)

Sifat Malu Tidaklah Mendatangkan Selain Kebaikan

Perilaku santun, berwibawa, dan menjaga kehormatan diri tumbuh dari sifat malu yang terpuji. Rasulullah n bersabda, sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik n,

مَا كَانَ الْحَيَاءُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ وَ مَا كَانَ الْفُحْشُ فِي شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ

“Tidaklah sifat malu itu tersemat pada sesuatu melainkan akan menghiasinya, dan tidaklah kekejian itu terdapat pada sesuatu melainkan akan menjelekkannya.”

Di antara keutamaan sifat malu adalah menjadi penghias setiap urusan. Maka dari itu, berhiaslah  selalu dengan sifat malu yang merupakan salah satu cabang keimanan, akhlak warisan para nabi, akhlak para malaikat Allah, dan akhlak Rasulullah serta para sahabat beliau.

Terakhir, sifat malu tidaklah mendatangkan selain kebaikan. Sifat malu seluruhnya adalah kebaikan. Sifat malu sama sekali tidak mendatangkan kemudaratan. Mengetahui hakikat malu adalah sebuah keharusan. Malu adalah bagian dari agama ini. Ia akan mencegah seseorang dari sikap lancang terhadap agama ini dan dari seluruh perbuatan keji serta akhlak tercela.

Wallahu a’lam.



[1] Para ulama berselisih pendapat tentang siapa orang tua yang saleh (ayah kedua wanita) tersebut. Ibnu Katsir t merajihkan bahwa dia bukanlah Nabi Syu’aib q. Alasan beliau antara lain ialah, seandainya memang Nabi Syu’aib, tentulah akan disebutkan dengan jelas di dalam al-Qur’an. Demikian pula, tidak ada hadits shahih yang menyebutkan secara tegas tentang nama orang tua yang saleh ini. Wallahu a’lam.

http://qonitah.com/pesona-malu-wanita-mulia/
Share:

Pendidikan Anak, Tanggung Jawab Siapa?

Pendidikan Anak, Tanggung Jawab Siapa?

Artikel ditulis pada
Kategori Asy Syariah Edisi 104, Manhaji , Tag Pendidikan Anak

Telah menjadi suratan ilahi bahwa manusia termasuk salah satu makhluk Allah subhanahu wa ta’ala yang menjalani roda kehidupan di dunia yang fana ini. Dengan segala hikmah dan keadilan-Nya Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan mereka makhluk sosial yang hidup bermasyarakat. Berawal dari sepasang insan suami dan istri, kemudian berkembang biak menurunkan anak-anak dan cucu-cucu. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

  وَٱللَّهُ جَعَلَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا وَجَعَلَ لَكُم مِّنۡ أَزۡوَٰجِكُم بَنِينَ وَحَفَدَةٗ وَرَزَقَكُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِۚ أَفَبِٱلۡبَٰطِلِ يُؤۡمِنُونَ وَبِنِعۡمَتِ ٱللَّهِ هُمۡ يَكۡفُرُونَ ٧٢

“Allah menjadikan bagi kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri dan menjadikan bagi kalian dari istri-istri kalian itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberi kalian rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?” (an-Nahl: 72)

Dalam pandangan Islam, istri dan anak tak sebatas anugerah yang patut disyukuri. Lebih dari itu, mereka adalah amanat yang berada di pundak setiapkepala keluarga. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَيۡهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٞ شِدَادٞ لَّا يَعۡصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمۡ وَيَفۡعَلُونَ مَا يُؤۡمَرُونَ ٦

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (at-Tahrim: 6)

Terkait ayat di atas, Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata, “Ajarkanlah kepada diri kalian dan keluarga kalian kebaikan, serta didiklah mereka!”

Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Lakukanlah ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, jauhilah kemaksiatan kepada-Nya subhanahu wa ta’ala, dan suruhlah keluarga kalian berzikir; niscaya Allah subhanahu wa ta’ala akan menyelamatkan kalian dari api neraka.” Beliau juga berkata, “Didiklah keluarga kalian!” (Fathul Qadir 5/305, al-Imam asy-Syaukani)

Betapa indahnya Islam manakala menjadikan pendidikan anak sebagai kegiatan bersama (amal jama’i) yang melibatkan suami dan istri. Istri selaku ibu bagi anak-anak benar-benar dihargai keberadaannya dan diposisikan sebagai patner utama sang suami selaku kepala keluarga dalam mendidik anak-anak mereka. Harapannya, keduanya saling bekerja sama dan bahu membahu secara optimal dalam memikul tanggung jawab pendidikan yang besar tersebut.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ

“Seorang lelaki adalah pemimpin bagi keluarganya dan dia bertanggung jawab terhadap mereka. Seorang wanita adalah pengatur bagi rumah suaminya dan anak-anaknya, dan dia bertanggung jawab terhadap mereka.” ( HR. al-Bukhari no. 6605 dan Muslim no. 3408 dari sahabat Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma, dengan lafaz Muslim)

Asy-Syaikh al-‘Allamah Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Orang yang paling pantas mendapatkan baktimu dan paling berhak memperoleh kebaikanmu adalah anak-anakmu. Sungguh, mereka adalah amanat yang diletakkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala di sisimu. Allah subhanahu wa ta’ala pun mewasiatkan kepadamu agar mendidik mereka dengan sebaik-baiknya, baik terkait dengan jasmani maupun rohani mereka. Semua yang engkau lakukan terhadap mereka dari kegiatan yang bersifat mendidik, baik yang kecil maupun yang besar, termasuk penunaian kewajiban yang diwajibkan kepadamu dan amalan termulia yang dapat mendekatkanmu kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Bersungguh-sungguhlah dalam hal ini dan berharaplah pahala dari Allah subhanahu wa ta’ala.” (Bahjatu Qulub al-Abrar wa Qurratu Uyuni al-Akhyar fi Syarhi Jawami’ al-Akhbar, hlm. 154/ pembahasan hadits ke-67)

Di antara bentuk tanggung jawab dan kesungguhan orang tua dalam mendidik buah hatinya adalah adanya nilai-nilai keteladanan dari orang tua yang dirasakan secara nyata oleh si buah hati. Demikian pula lantunan do’a yang senantiasa dipanjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, memohon kebaikan si buah hati. Keduanya, diyakini mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi perjalanan hidup si buah hati.


Sejauh Manakah Peran Orang Tua dalam Pendidikan Si Buah Hatinya?

Setiap anak terlahir di atas fitrah yang suci. Kedua orang tuanya sebagai peletak batu dasar pertama pendidikannya, sangat berperan dalam mengantarkannya kepada kehidupan yang baik ataupun yang buruk (dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِ، كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ، هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ؟

“Tidaklah seorang anak dilahirkan kecuali di atas fitrah yang suci. Hanya saja kedua orang tuanya yang berperan menjadikannya seorang Yahudi, Nasrani, dan Majusi. Layaknya seekor hewan ternak yang melahirkan anaknya dalam keadaan sempurna fisiknya, apakah kalian melihat pada tubuhnya bagian yang terputus?” (HR. al-Bukhari no. 1358 dan Muslim no. 2658 dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)

Setiap orang tua bertanggung jawab terhadap tumbuh kembang anaknya baik yang bersifat jasmani maupun rohani. Oleh karena itu, di samping kebutuhan jasmani yang harus dipenuhi secara optimal, demikian pula kebutuhan rohaninya; akidah, ibadah, akhlak, dan manhaj. Bahkan itulah yang semestinya lebih diutamakan.

Asy-Syaikh al-‘Allamah Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Manakala Anda (orang tua, – pen.) memenuhi kebutuhan anak-anak dalam hal pangan, sandang, dan jasmani terbilang telah menunaikan hak dan mendapatkan pahala karenanya, demikian pula—bahkan lebih utama dari itu—manakala Anda memenuhi kebutuhan mereka dalam hal pendidikan jiwa dan kerohanian dengan memberikan ilmu yang bermanfaat, pengetahuan yang benar, arahan kepada budi pekerti luhur, serta peringatan dari dekadensi moral.

Pembekalan anak-anak dengan adab yang mulia tersebut sungguh lebih baik bagi mereka dari pemberian emas, perak, dan ragam fasilitas duniawi lainnya baik sekarang maupun pada masa yang akan datang. Sebab, dengan adab-adab yang mulia itulah mereka akan terhormat, berbahagia, dimudahkan dalam menunaikan berbagai kewajiban baik terkait dengan hak Allah subhanahu wa ta’ala maupun hak sesama, dapat menghindarkan diri dari hal-hal yang merusak, dan lebih sempurna dalam mempersembahkan bakti kepada kedua orang tua mereka.” (Bahjatu Qulub al-Abrar wa Qurratu Uyuni al-Akhyar fi Syarhi Jawami’ al-Akhbar, hlm. 154/ pembahasan hadits ke-67)

Realita menunjukkan bahwa tidak sedikit dari orang tua yang hanya memperhatikan kebutuhan jasmani si buah hatinya. Adapun kebutuhan rohaninya diabaikan begitu saja. Padahal itulah bekal utamanya dalam mengarungi kehidupan dunia yang penuh dengan ujian dan cobaan ini.

Tak jarang pula orang tua yang siap menuruti segala permintaan buah hatinya walaupun harus menabrak norma agama dan budi pekerti yang luhur. Menurutnya, dengan itu dia memuliakan buah hatinya, padahal hakikatnya menyengsarakannya.

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Betapa banyak orang tua yang menyengsarakan si buah hatinya di dunia dan di akhirat dengan menelantarkannya, tidak mendidiknya, dan bahkan mendukungnya dalam mewujudkan berbagai keinginan hawa nafsunya.

Dia beranggapan bahwa itulah wujud pemuliaan terhadap si buah hati, padahal hakikatnya menyengsarakannya. Dia beranggapan bahwa itulah wujud kasih sayang kepada si buah hati, padahal hakikatnya menzaliminya. Akibatnya, sirnalah kesempatannya untuk mengambil kemanfaatan dari si buah hatinya, sebagaimana pula (dengan itu, -pen.) dia telah melenyapkan sisi kebaikan dari buah hatinya di dunia dan di akhirat.

Jika Anda memperhatikan kerusakan yang menimpa anak-anak, sungguh Anda akan melihat bahwa mayoritas sebabnya berasal dari pihak orang tua.” (Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud, hlm. 242)

Asy-Syaikh Abdullah bin Abdur Rahim al-Bukhari hafizhahullah berkata, “Di antara kewajiban pertama yang harus dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya adalah menyelamatkan mereka dari api neraka. Bahkan, inilah amalan termulia yang dapat dilakukan oleh para orang tua untuk anak-anak mereka.

Termasuk hal aneh—dan yang aneh itu banyak—Anda dapat melihat sebagian orang tua sangat gundah dan gulana manakala prestasi sekolah (rangking) putra-putrinya menurun. Suasana duka dan lara benar-benar menyelimutinya! Namun, manakala iman dan akhlaknya yang menurun, hatinya tak tergerak sedikitpun dan tak mau peduli, kecuali para hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang dirahmati-Nya, dan betapa sedikitnya mereka! Manakala si buah hati absen sekolah, Anda dapat melihat sebagian orang tua stress karenanya. Namun, manakala si buah hati enggan pergi ke masjid, absen shalat berjamaah dan shalat Jumat—terkhusus anak laki-laki—Anda dapat melihat banyak orang tua yang hatinya tak tergerak karenanya! Hanya kepada Allah-lah tempat mengadu.” (Huququl Aulad ‘Alal Abaa’ wal Ummahat, hlm. 13—14)


Keteladanan Para Nabi dan Orang Saleh dalam Mendidik Si Buah Hati

Apabila kita mencermati keteladanan para nabi dan orang-orang saleh dalam mendidik si buah hati, sangat tampak sekali perhatian dan kepedulian mereka terhadap sisi kerohanian dibandingkan dengan sisi kejasmanian. Sebab, kesuksesan pendidikan dalam hal kerohanian; akidah, ibadah, akhlak, dan manhaj akan mengantarkan si buah hati kepada kebahagiaan hakiki baik di dunia maupun di akhirat.

Tak mengherankan apabila sisi inilah yang menjadi perhatian dan kepedulian “orang-orang besar” di setiap generasi ketika mendidik buah hatinya. Lihatlah Nabi Ibrahim q dan Nabi Ya’qub q yang mendidik anak-anak mereka agar selalu berpegang teguh dengan agama Islam dan berada di atas tauhid.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَوَصَّىٰ بِهَآ إِبۡرَٰهِ‍ۧمُ بَنِيهِ وَيَعۡقُوبُ يَٰبَنِيَّ إِنَّ ٱللَّهَ ٱصۡطَفَىٰ لَكُمُ ٱلدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسۡلِمُونَ ١٣٢

أَمۡ كُنتُمۡ شُهَدَآءَ إِذۡ حَضَرَ يَعۡقُوبَ ٱلۡمَوۡتُ إِذۡ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعۡبُدُونَ مِنۢ بَعۡدِيۖ قَالُواْ نَعۡبُدُ إِلَٰهَكَ وَإِلَٰهَ ءَابَآئِكَ إِبۡرَٰهِ‍ۧمَ وَإِسۡمَٰعِيلَ وَإِسۡحَٰقَ إِلَٰهٗا وَٰحِدٗا وَنَحۡنُ لَهُۥ مُسۡلِمُونَ ١٣٣

“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata), “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagi kalian, maka janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan memeluk agama Islam.”

Adakah kalian hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya, “Apa yang kalian sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Rabbmu dan Rabb nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Rabb yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.” (al-Baqarah: 132—133)

Lihatlah hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang saleh, Luqman al-Hakim yang mendidik buah hatinya di atas norma luhur kerohanian.

Mendidiknya agar selalu memerhatikan hak-hak Allah subhanahu wa ta’ala dengan mentauhidkan-Nya dan tidak berbuat syirik kepada-Nya, senantiasa merasa dalam pengawasan-Nya (muraqabatullah), dan menegakkan shalat sebagai bentuk ibadah dan munajat kepada-Nya.
Mendidiknya agar selalu memperhatikan hak-hak kedua orang tua dengan berbakti kepada keduanya dan tidak mendurhakainya.
Mendidiknya agar selalu memperhatikan hak-hak orang lain dengan berlaku santun, melunakkan suara, dan tidak sombong baik dalam sikap maupun perbuatan.
Mendidiknya agar selalu istiqamah dan peduli dengan urusan dakwah beserta segala konsekuensinya dengan menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar, serta bersabar atas segala ujian dan cobaan.
Paparan norma-norma luhur itu diabadikan dalam Kitab Suci al-Qur’an surat Luqman ayat 13—19. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَإِذۡ قَالَ لُقۡمَٰنُ لِٱبۡنِهِۦ وَهُوَ يَعِظُهُۥ يَٰبُنَيَّ لَا تُشۡرِكۡ بِٱللَّهِۖ إِنَّ ٱلشِّرۡكَ لَظُلۡمٌ عَظِيمٞ ١٣ وَوَصَّيۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيۡهِ حَمَلَتۡهُ أُمُّهُۥ وَهۡنًا عَلَىٰ وَهۡنٖ وَفِصَٰلُهُۥ فِي عَامَيۡنِ أَنِ ٱشۡكُرۡ لِي وَلِوَٰلِدَيۡكَ إِلَيَّ ٱلۡمَصِيرُ ١٤ وَإِن جَٰهَدَاكَ عَلَىٰٓ أَن تُشۡرِكَ بِي مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٞ فَلَا تُطِعۡهُمَاۖ وَصَاحِبۡهُمَا فِي ٱلدُّنۡيَا مَعۡرُوفٗاۖ وَٱتَّبِعۡ سَبِيلَ مَنۡ أَنَابَ إِلَيَّۚ ثُمَّ إِلَيَّ مَرۡجِعُكُمۡ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ ١٥ يَٰبُنَيَّ إِنَّهَآ إِن تَكُ مِثۡقَالَ حَبَّةٖ مِّنۡ خَرۡدَلٖ فَتَكُن فِي صَخۡرَةٍ أَوۡ فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ أَوۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ يَأۡتِ بِهَا ٱللَّهُۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٞ ١٦ يَٰبُنَيَّ أَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَٱنۡهَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَٱصۡبِرۡ عَلَىٰ مَآ أَصَابَكَۖ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنۡ عَزۡمِ ٱلۡأُمُورِ ١٧ وَلَا تُصَعِّرۡ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمۡشِ فِي ٱلۡأَرۡضِ مَرَحًاۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخۡتَالٖ فَخُورٖ ١٨ وَٱقۡصِدۡ فِي مَشۡيِكَ وَٱغۡضُضۡ مِن صَوۡتِكَۚ إِنَّ أَنكَرَ ٱلۡأَصۡوَٰتِ لَصَوۡتُ ٱلۡحَمِيرِ ١٩

Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya, “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.”

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada- Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.

(Luqman berkata), “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya), sesungguhnya Allah Mahahalus lagi Maha Mengetahui. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya hal itu termasuk halhal yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu, sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (Luqman: 13—19)

Lihatlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memberikan pendidikan dasar akidah kepada putra paman beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma yang kala itu masih kanak-kanak. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا غُلَامُ إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ، احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ، وَلَوْ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ الْأَقْلَامُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ

“Hai anak! Sungguh, aku akan mengajarimu beberapa petuah penting. Jagalah Allah subhanahu wa ta’ala (syariat-Nya), niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah subhanahu wa ta’ala (syariat-Nya), niscaya Dia akan berada di hadapanmu (menolongmu). Jika kamu memohon sesuatu, mohonlah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Jika kamu meminta pertolongan, mintalah tolong kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Ketahuilah, jika seandainya umat manusia bersatu-padu untuk memberikan suatu kemanfaatan kepadamu, niscaya tak dapat memberikan kemanfaatan itu kepadamu kecuali jika Allah subhanahu wa ta’ala menakdirkannya untukmu. Jika seandainya mereka bersatu-padu untuk memberikan suatu kemudharatan kepadamu, niscaya tak dapat memberikan kemudharatan itu kepadamu kecuali jika Allah subhanahu wa ta’ala menakdirkannya atasmu. Telah diangkat pena, dan telah kering lembaran-lembaran (takdir).” (HR. at-Tirmidzi no. 2516 dari Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma; dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan at-Tirmidzi no. 2516, al-Misykah no. 5302, dan Zhilal al-Jannah no. 316—318)

Lihatlah pula pendidikan adab yang diberikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Umar bin Abi Salamah radhiallahu ‘anhuma, putra bawaan dari istri beliau, Ummu Salamah radhiallahu ‘anha, yang berada dalam asuhan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Umar bin Abi Salamah radhiallahu ‘anhuma menuturkan, “Kala itu aku adalah seorang anak kecil yang hidup dalam asuhan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika aku makan (bersama beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam) tanganku bergerak ke berbagai sisi nampan ke mana aku suka. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku,

يَا غُلاَمُ، سَمِّ اللهَ، وَكُلْ بِيَمِينِكَ، وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ

“Hai anak, ucapkan bismillah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah dari sisi yang terdekat denganmu!” (HR. al-Bukhari no. 5376 dan Muslim no. 2022)

Dari nilai-nilai keteladanan di atas dapat diambil pelajaran berharga bahwa di antara sisi terpenting yang harus diperhatikan oleh setiap orang tua dalam pendidikan buah hatinya adalah norma-norma luhur kerohaniannya; akidah, ibadah, akhlak, dan manhaj.

Dengan demikian, si buah hati akan menjadi pribadi mulia yang terdidik dan sekaligus memahami hak yang harus ditunaikannya, baik terkait dengan hak Allah subhanahu wa ta’ala selaku penciptanya, hak kedua orang tuanya, maupun hak orang lain selaku partner interaksinya dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.


Urgensi Memahami Lingkungan Pendidikan Si Buah Hati

Hal penting yang harus diketahui dan diperhatikan oleh setiap orang tua bahwa seorang anak tak selalu hidup bersamanya di rumah. Cepat atau lambat dia akan berinteraksi dengan lingkungan di luar rumahnya dari radius yang terdekat hingga yang berikutnya dan berikutnya.

Maka dari itu, setiap orang tua harus memahami dan peduli dengan lingkungan yang mengitari buah hatinya. Sebab, lingkungan juga mempunyai pengaruh yang besar bagi kehidupan seorang anak, baik ke arah positif maupun negatif.

Adakalanya seorang anak tergolong baik dan taat, lantas menjadi rusak manakala berinteraksi dengan lingkungan yang jelek. Adakalanya pula seorang anak tergolong kurang baik, lantas menjadi baik manakala berinteraksi dengan lingkungan yang baik. Tentu saja, semua itu dengan seizin Allah subhanahu wa ta’ala.

Di antara lingkungan si buah hati yang harus diperhatikan oleh setiap orang tua setelah lingkungan intern keluarganya adalah,


1) Lingkungan belajar (sekolah dan yang semisalnya)

Bentuk perhatiannya, dengan cara memilihkan lingkungan belajar yang tepat untuk buah hatinya. Sekolah yang berkualitas dan berpijak di atas manhaj yang lurus. Demikian pula para pengasuh dan gurunya dari kalangan orang-orang saleh, berpijak di atas manhaj yang lurus, dan berbudi pekerti yang luhur. Rajin mengontrolnya dan berkomunikasi secara intensif dengan para pengasuh dan gurunya terkait problem belajarnya.

Tak kalah pentingnya, perhatian terhadap majelis-majelis taklim yang dihadiri oleh si buah hati. Jangan sampai si buah hati terperangkap dalam majlis taklim yang mengajarkan kesesatan atau kebid’ahan. Mengajak kepada paham terorisme (Khawarij), pluralisme, dan paham sesat lainnya.


2) Lingkungan ibadah (masjid)

Bentuk perhatiannya, dengan cara memilihkan masjid yang tepat untuk buah hatinya. Masjid yang dibangun dan dimakmurkan di atas al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman as-salafus shalih. Masjid yang jauh dari ritual ibadah yang tak ada contohnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.


3) Lingkungan bermain

Bentuk perhatiannya, dengan cara memilihkan tempat bermain yang aman bagi mental anak (bersih dari pelanggaran syariat), aman bagi fisiknya, dan rajin mengontrol jalannya permainan tersebut.

4) Lingkungan pergaulan dan pertemanan

Bentuk perhatiannya, dengan cara memilihkan untuk si buah hati teman bergaul dan lingkungan pertemanan yang baik secara akidah, ibadah, akhlak, dan manhaj, serta rajin mengontrolnya.

Hati-hatilah! Pergaulan bebas dapat merusak masa depan si buah hati, termasuk pergaulannya di dunia maya (internet) yang sangat sulit pengontrolannya dan telah banyak memakan korban.

Rasulullah bersabda shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

“Seseorang tergantung agama teman akrabnya. Hendaknya salah seorang dari kalian memerhatikan siapa yang dijadikan sebagai teman akrab.” (HR. Abu Dawud dalam as-Sunan 2/293, at-Tirmidzi dalam as-Sunan 2/278, al-Hakim dalam al-Mustadrak 4/171 dan Ahmad dalam al-Musnad 2/303 dan 334 dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu. Lihat Silsilah al-Ahadits as-Shahihah no. 927)

Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Jika engkau melihat seorang pemuda di awal tumbuh kembangnya bersama Ahlus Sunnah wal Jamaah, optimislah akan keadaannya (di kemudian hari). Jika engkau melihat di awal tumbuh kembangnya bersama ahlul bid’ah, pesimislah akan keadaannya (di kemudian hari).” (al-Adab asy-Syar’iyyah 3/77, al-Imam Ibnu Muflih)

Wallahu a’lam.


Ditulis oleh Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi

Didukung oleh: WebMasterKHAS
Share:

Minggu, 20 November 2016

SEDEKAH TANPA HARTA..


SEDEKAH TANPA HARTA..
Asy-Syaikh Zaid Al-Madkhali rahimahullah
Sesungguhnya sedekah itu sebagaimana bisa dengan harta yang sedikit ataupun banyak, maka sesungguhnya juga bisa dilakukan dengan perkara lain selain harta. Diantara perkara-perkara itu adalah sebagai berikut:
1. Berdzikir dengan berbagai macam jenisnya, seperti membaca Al-Qur’an, yaitu paling afdhalnya dzikir, membaca tasbih, tahmid, tahlil, takbir, taubat, istighfar dan selainnya dari dzikir hati dan dzikir lisan. Maka itu semua adalah sedekah-sedekah yang berlipat ganda (pahalanya) yang tidak ada beban padanya, tidak ada kelelahan, tidak ada kesulitan. Hanya saja itu adalah sedekah yang ringan, gampang dilakukan, mudah bagi hati dan lisan sekaligus.
2. Dan sedekah juga bisa dilakukan dengan perkara-perkara lainnya yang Nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah membimbing kita :
• Mendamaikan antara manusia (yang berselisih) yang Allah sangat mengagungkan kedudukannya. Maka Allah menjadikannya sebagai sebaik-baik (amalan) yang dipersembahkan oleh seoarang insan, dengannya mengharap wajah Allah dan negeri akhirat.
• Menyingkirkan duri, tulang atau batu dari jalan, menuntun orang yang buta, membimbing orang bisu dan tuli, memberi tahu orang yang butuh ditunjuki kepada hajatnya yang engkau tahu tempatnya, menolong orang yang sedang kesusahan, menolong orang yang lemah dan semisal itu dari bentuk-bentuk sedekah
• Akhlak yang baik, menampakkan wajah yang ramah dan engkau menuangkan air dari wadahmu ke gelas saudaramu itu tercatat sebagai sedekah bagimu.
• Menahan kejelekkan dari manusia itu adalah sedekah seorang hamba atas dirinya.
• Apa yang dimakan oleh burung, oleh binatang buas, apa yang diambil oleh seorang muslim dari hartanya tanpa izin dan tanpa sepengetahuannya adalah sedekah baginya pula.
• Mengajarkan ilmu itu adalah seagung-agung sedekah, karena di dalamnya terkandung menyelamatkan manusia dari kebodohan dan memasukkan mereka ke dalam pintu-pintu cahaya dan petunjuk.
Dan perkara-perkara ini sedikit dari yang banyak termasuk apa yang dengannya Allah memuliakan seorang hamba muslim, berupa amalan-amalan kebajikan yang dianjurkan yang menjadi bernilai sedekah yang dilipatgandakan (pahalanya) sebagai rahmat dan karunia dari Allah. Dan Allah itu Maha Luas dan Maha mengetahui.
Al-Afnaan An-Nadiyah juz ke 3 kitab Zakat hal 125
Sumber : http://cutt.us/WRFgL
——
🌴العلامة زيد المدخلي – رحمه الله تعالى – :
🖋أن الصدقة كما تكون بالمال القليل أو الكثير، فإنها أيضاً تكون بأشياء أخرى غير المال، من هذه الأشياء ما يلي:
♦1- الذكر على اختلاف أنواعه كقراءة القرآن، وهي أفضل أنواع الذكر والتسبيح لله والتحميد والتهليل والتكبير والتوبة والاستغفار وغير ذلك من ذكر القلب واللسان، فإن ذلك صدقات مضاعفة لا كلفة فيها ولا إرهاق ولا مشقة، وإنما هي خفيفة وسهلة وميسرة على القلب واللسان معا.
♦2- وتكون الصدقات بأمور أخرى متعددة أرشدتنا إليها نصوص الكتاب والسنة:
🔸أ/ كاﻹصلاح بين الناس الذي عظم الله شأنه، فجعله من خير ما يقدمه الإنسان يبتغي به وجه الله والدار الآخرة.
🔸ب/ عزل الشوكة والعظم والحجر عن الطريق، ودلالة الأعمى، وإرشاد الأصم والأبكم، وإعلام المستدل على حاجة له قد علمت مكانها، وإغاثة اللهفان، ومساعدة الضعيف ونحو ذلك مما هو مثله من وجوه الصدقات.
🔸ج/ حسن الخلق، وطلاقة الوجه، وإفراغك من إنائك في إناء أخيك لك صدقة.
🔸د/ كف الشر عن الناس صدقة من العبد على نفسه.
🔸ه/ ما أكلته الطيور والسباع، وما أخذ من المسلم من ماله بدون إذن ولا علم يكون له صدقة كذلك.
🔸و/ تعليم العلم أعظم صدقة؛ لأن فيه إنقاذا من الجهل وإدخالا في أبواب النور والهدى.
💡وهذه الأشياء قليل من كثير مما أكرم الله به العبد المسلم من أعمال البر التطوعية التي تكون صدقات مضاعفة رحمة من الله وفضلا، والله واسع عليم.
📔 الأفنان الندية – الجزء الثالث – كتاب الزكاة – ص125.
📲 قَنـاةُ【السُنّة】مِـنْ هُنـ↶ـا:
http://cutt.us/WRFgL

Share:

MEMBERONTAK PEMERINTAH BERSUMBER DARI KEYAKINAN YANG RUSAK


MEMBERONTAK PEMERINTAH BERSUMBER DARI KEYAKINAN YANG RUSAK
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah
Pertanyaan: Bagaimana dengan orang yang memprovokasi untuk memberontak kepada pemerintah dan menyatakan bahwa yang dimaksud dengan menyempal dari jamaah kaum Muslimin (memberontak kepada pemerintah) bukanlah dengan cara melakukan demonstrasi dan mengemukakan pendapat. Tetapi yang dimaksud dengan pemberontakan yang diperingatkan oleh syari’at agar dijauhi adalah pemberontakan bersenjata?
Jawaban:
Pemberontakan ada beberapa macam, diantaranya adalah pemberontakan dengan ucapan. Ini juga merupakan salah satu jenis pemberontakan jika dengan ucapan tersebut memprovokasi dan menganjurkan untuk memberontak kepada pemerintah. Ini merupakan bentuk pemberontakan walaupun tidak membawa senjata. Bahkan terkadang ini lebih berbahaya dibandingkan membawa senjata. Orang yang menyebarkan pemikiran Khawarij dan menganjurkannya maka dia lebih berbahaya dibandingkan membawa senjata. Pemberontakan bisa juga dilakukan dengan hati, yaitu jika seseorang tidak meyakini kekuasaan pemerintah dan tidak meyakini kewajiban yang ditetapkan oleh syari’at terhadapnya (taat dalam perkara yang ma’ruf dan tidak memberontak –pent) dan membenci pemerintah. Semacam ini merupakan pemberontakan dengan hati. Jadi pemberontakan itu bisa dengan hati, niat (untuk memberontak –pent), dengan ucapan, dan juga dengan senjata.
Sumber artikel:
من يقول أن الخروج المحذر منه هو الخروج المسلح | موقع معالي الشيخ صالح بن فوزان الفوزان –
***
diterjemahkan oleh: Abu Almass bin Jaman Al-Ausathy
Ahad, 9 Jumaadal Ula 1435 H
Share:

Minggu, 16 Oktober 2016

Link Audio Rekaman Kajian Islam Ilmiyyah di Kota Jombang



📀 Audio Rekaman 🔊

⏩ Kajian Islam Ilmiyyah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah

💺 Al-Ustadz Ayip Syafruddin حفظه الله تعالى (Pengasuh Ma'had Darussalaf Sukoharjo Jawa Tengah )

📆 Hari/Tanggal : Ahad, 15 Muharrom 1438 H / 16 Oktober 2016 M

🕤 Waktu : 09.00 WIB s/d Selesai

📚 Dengan tema :
Mewaspadai Kebangkitan Komunisme dan Paham Radikalisme

🕌 Tempat :
Masjid Baitul Muttaqin
Kantor UPT Pelayanan Sosial Remaja Terlantar Jombang

Link sesi 1 : http://bit.ly/2e8QJ5L

Link sesi 2 : http://bit.ly/2eizcXb



🔆Wa Salafy Jombang🔆
Share:

Minggu, 09 Oktober 2016

KAJIAN ISLAM ILMIYYAH di KOTA JOMBANG "Mewaspadai Kebangkitan Komunisme dan Paham Radikalisme"


Dengan Mengharapkan Ridho Alloh سبحانه وتعالى

✅Hadir dan ikuti !

⏩ Kajian Islam Ilmiyyah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah

Insyaa Alloh Bersama :
💺 Al-Ustadz Abul Faruq Ayip Syafruddin حفظه الله تعالى (Pengasuh Ma'had Darussalaf Solo JawaTengah )

📆 Hari/Tanggal : Ahad, 15 Muharrom 1438 H / 16 Oktober 2016 M

🕤 Waktu : 09.00 WIB s/d Selesai

📚 Dengan tema :
Mewaspadai Kebangkitan Komunisme dan Paham Radikalisme

🕌 Tempat :
Masjid Baitul Muttaqin
UPT Pelayanan Sosial Remaja Terlantar / PSBR 
Jl.Wahidin Sudiro Husodo No. 3 Jombang

🔓 Khusus Ikhwan / Laki - laki

📡 insyaa Alloh bagi yang berhalangan hadir bisa dengar Live Streaming di Web :
www.arrisalah.or.id
Atau
Dengar langsung di android anda : arrisalah.radioislam.my.id:9222/stream



☎📱
085643086942 Telpon/SMS
085649217884 WA
(Abu Abdirrohman)



Share:

Selasa, 27 September 2016

Jadwal Terbaru Kajian Rutin Salafy Jombang

JADWAL KAJIAN RUTIN
MA’HAD AR-RISALAH JOMBANG
Hari
Waktu
Kitab
Ustadz
Keterangan
SABTU
Ba’dal Maghrib – Isya’
Aqidah Syaikh Muhammad bin Abdil Wahab
Muhammad Irfan
Sabtu Ganjil
Sifat Sholat Nabi
Sabtu Genap
KAMIS
16.45 – Maghrib
Modul Do’a MTQ Ar-Risalah
Muhammad Irfan
Kamis Ganjil
Adabus Shuhbah
Kamis Genap
SENIN
16.45 – Maghrib
Adabul Mufrod
Muhammad Irfan
Senin Ganjil
Khusus Muslimah
Risalah Tauhid
Senin Genap
Ba’dal Isya’ – 20.30
Tuhfatul Wushobiyyah
Abu Ibrohim
Khusus ikhwan
SELASA
Ba’dal Isya’ – 20.30
Tuhfatul Wushobiyyah
Abu Ibrohim
Khusus Ikhwan
RABU
Ba’dal Isya’ – 20.30
Praktek Baca Kitab
CATATAN :
Ta’lim hari Senin, ummahat DILARANG membawa anak kecil ke tempat ta’lim 
(kecuali usia dibawah 2 tahun)
Jadwal bisa berubah sewaktu waktu.

Bagi yang berhalangan hadir bisa mendengarkan secara Langsung Insya Alloh di website www.arrisalah.or.id
 Download Aplikasi pada Android di link http://www.appsgeyser.com/3704338
Atau Via Winamp dengan memasukakan URL http://arrisalah.radioislam.my.id:9222
Share:

Mengenal Lebih dekat Al Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i

Mengenal Lebih Dekat Al-Imam Muhammad bin ‘Idris Asy-Syafi’i


Ulama adalah pewaris para nabi. Keberadaannya di tengah umat bagai pelita dalam kegelapan. Titah dan bimbingannya laksana embun penyejuk dalam kehausan. Keharuman namanya pun seakan selalu hidup dalam sanubari umat.
Dengan segala hikmah dan kasih sayang-Nya, Allah  yang Maha Hakim lagi Maha Rahim tak membiarkan umat Islam –dalam setiap generasinya– lengang dari para ulama. Diawali dari para sahabat Nabi  manusia terbaik umat ini, kemudian dilanjutkan oleh para ulama setelah mereka, dari generasi ke generasi. Orang-orang pilihan pewaris para nabi yang selalu siaga membela agama Allah dari pemutarbalikan pengertian agama yang dilakukan oleh para ekstremis, kedustaan orang-orang sesat dengan kedok agama, dan penakwilan menyimpang yang dilakukan oleh orang-orang jahil. Di antara para ulama tersebut adalah Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i . Seorang ulama besar umat ini yang berilmu tinggi, berakidah lurus, berbudi pekerti luhur, lagi bernasab mulia.

Nama dan garis keturunan Al-Imam Asy-Syafi’i
Nama Al-Imam Asy-Syafi’i adalah Muhammad bin Idris. Beliau berasal dari Kabilah Quraisy yang terhormat (Al-Qurasyi), tepatnya dari Bani Al-Muththalib (Al-Muththalibi) dan dari anak cucu Syafi’ bin As-Saib (Asy-Syafi’i). Adapun ibu beliau adalah seorang wanita mulia dari Kabilah Azd (salah satu kabilah negeri Yaman). Kunyah beliau Abu Abdillah, sedangkan laqab (julukan) beliau Nashirul Hadits (pembela hadits Nabi ). Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi Muhammad n pada Abdu Manaf bin Qushay, sebagaimana dalam silsilah garis keturunan beliau berikut ini:
Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al-Muththalib bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’d bin Adnan. (Manaqib Asy-Syafi’i karya Al-Imam Al-Baihaqi , 1/76, 472, Siyar A’lamin Nubala’ karya Al-Imam Adz-Dzahabi , 10/5-6, dan Tahdzibul Asma’ wal Lughat karya Al-Imam An-Nawawi t, 1/44)

Kelahiran dan masa tumbuh kembang Al-Imam Asy-Syafi’i
Para sejarawan Islam sepakat bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i dilahirkan pada tahun 150 H. Di tahun yang sama, Al-Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit Al-Kufi  meninggal dunia. Adapun tempat kelahiran beliau, ada tiga versi: Gaza, Asqalan, atau Yaman.
Menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani  dalam Tawalit Ta’sis Bima’ali Ibni Idris (hal. 51-52), tidak ada pertentangan antara tiga versi tersebut, karena Asqalan adalah nama sebuah kota di mana terdapat Desa Gaza. Sedangkan versi ketiga bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i dilahirkan di Yaman, menurut Al-Imam Al-Baihaqi, bukanlah negeri Yaman yang dimaksud, akan tetapi tempat yang didiami oleh sebagian kabilah Yaman, dan Desa Gaza termasuk salah satu darinya. (Lihat Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i Fi Itsbatil Akidah karya Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Aqil, 1/21-22, dan Manaqib Asy-Syafi’i, 1/74)
Dengan demikian tiga versi tersebut dapat dikompromikan, yaitu Al-Imam Asy-Syafi’i dilahirkan di Desa Gaza, Kota ’Asqalan (sekarang masuk wilayah Palestina) yang ketika itu didiami oleh sebagian kabilah Yaman.
Para pembaca yang mulia, di Desa Gaza, Asy-Syafi’i kecil tumbuh dan berkembang tanpa belaian kasih seorang ayah alias yatim. Walau demikian, keberadaan sang ibu yang tulus dan penuh kasih sayang benar-benar menumbuhkan ketegaran pada jiwa beliau untuk menyongsong hidup mulia dan bermartabat. Pada usia dua tahun sang ibu membawa Asy-Syafi’i kecil ke bumi Hijaz.1 Di Hijaz, Asy-Syafi’i kecil hidup di tengah-tengah keluarga ibunya (keluarga Yaman). Di sana pula Asy-Syafi’i kecil belajar Al-Qur’an dan dasar-dasar ilmu agama, sehingga pada usia tujuh tahun beliau telah berhasil menghafalkan Al-Qur’an dengan sempurna (30 juz).
Saat memasuki usia sepuluh tahun, sang ibu khawatir bila nasab mulia anaknya pudar. Maka dibawalah si anak menuju Makkah agar menapak kehidupan di tengah-tengah keluarga ayahnya dari Kabilah Quraisy. Kegemaran beliau pun tertuju pada dua hal: memanah dan menuntut ilmu. Dalam hal memanah beliau sangat giat berlatih, hingga dari sepuluh sasaran bidik, sembilan atau bahkan semuanya dapat dibidiknya dengan baik. Tak ayal bila kemudian unggul atas kawan-kawan sebayanya. Dalam hal menuntut ilmu pun tak kalah giatnya, sampai-sampai salah seorang dari kerabat ayahnya mengatakan: “Janganlah engkau terburu menuntut ilmu, sibukkanlah dirimu dengan hal-hal yang bermanfaat (bekerja)!”
Namun kata-kata tersebut tak berpengaruh sedikitpun pada diri Asy-Syafi’i. Bahkan kelezatan hidup beliau justru didapat pada ilmu dan menuntut ilmu, hingga akhirnya Allah l karuniakan kepada beliau ilmu yang luas. (Tawalit Ta’sis Bima’ali Ibni Idris hal. 51-52, Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i Fi Itsbatil Akidah, 1/22-23)

Perjalanan Al-Imam Asy-Syafi’i dalam menuntut ilmu
Di Kota Makkah dengan segala panorama khasnya, Asy-Syafi’i kecil mulai mendalami ilmu nahwu, sastra Arab, dan sejarah. Keinginan beliau untuk menguasainya pun demikian kuat. Sehingga setelah memasuki usia baligh dan siap untuk berkelana menuntut ilmu, bulatlah tekad beliau untuk menimba ilmu bahasa Arab dari sumbernya yang murni. Pilihan pun jatuh pada Suku Hudzail yang berada di perkampungan badui pinggiran Kota Makkah, mengingat Suku Hudzail –saat itu– adalah suku Arab yang paling fasih dalam berbahasa Arab. Dengan misi mulia tersebut Asy-Syafi’i seringkali tinggal bersama Suku Hudzail di perkampungan badui mereka. Aktivitas ini pun berlangsung cukup lama. Sebagian riwayat menyebutkan sepuluh tahun dan sebagian lainnya menyebutkan dua puluh tahun. Tak heran bila di kemudian hari Asy-Syafi’i menjadi rujukan dalam bahasa Arab. Sebagaimana pengakuan para pakar bahasa Arab di masanya, semisal Al-Imam Abdul Malik bin Hisyam Al-Mu’afiri (pakar bahasa Arab di Mesir), Al-Imam Abdul Malik bin Quraib Al-Ashma’i (pakar bahasa Arab di Irak), Al-Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam Al-Harawi (sastrawan ulung di masanya), dan yang lainnya.[2] (Lihat Tawalit Ta’sis Bima’ali Ibni Idris hal. 53, Al-Bidayah wan Nihayah karya Al-Hafizh Ibnu Katsir , 10/263, Manaqib Asy-Syafi’i 1/102)
Kemudian Allah anugerahkan kepada Al-Imam Asy-Syafi’i kecintaan pada fiqh (mendalami ilmu agama). Mush’ab bin Abdullah Az-Zubairi menerangkan bahwa kecintaan Al-Imam Asy-Syafi’i pada fiqh bermula dari sindiran sekretaris ayah Mush’ab. Kisahnya, pada suatu hari Al-Imam Asy-Syafi’i sedang menaiki hewan tunggangannya sembari melantunkan bait-bait syair. Maka berkatalah sekretaris ayah Mush’ab bin Abdullah Az-Zubairi kepada beliau: “Orang seperti engkau tak pantas berperilaku demikian. Di manakah engkau dari fiqh?” Kata-kata tersebut benar-benar mengena pada jiwa Al-Imam Asy-Syafi’i, hingga akhirnya bertekad untuk mendalami ilmu agama kepada Muslim bin Khalid Az-Zanji –saat itu sebagai Mufti Makkah– kemudian kepada Al-Imam Malik bin Anas di Kota Madinah. (Lihat Manaqib Asy-Syafi’i, 1/96)
Upaya menimba berbagai disiplin ilmu agama ditempuhnya dengan penuh kesungguhan. Dari satu ulama menuju ulama lainnya dan dari satu negeri menuju negeri lainnya; Makkah-Madinah-Yaman-Baghdad. Di daerahnya (Makkah), Al-Imam Asy-Syafi’i menimba ilmu dari Muslim bin Khalid Az-Zanji, Dawud bin Abdurrahman Al-Aththar, Muhammad bin Ali bin Syafi’, Sufyan bin Uyainah, Abdurrahman bin Abu Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Iyadh, dan yang lainnya.
Pada usia dua puluh sekian tahun –dalam kondisi telah layak berfatwa dan pantas menjadi seorang imam dalam agama ini– Al-Imam Asy-Syafi’i berkelana menuju Kota Madinah guna menimba ilmu dari para ulama Madinah: Al-Imam Malik bin Anas, Ibrahim bin Abu Yahya Al-Aslami, Abdul Aziz Ad-Darawardi, Aththaf bin Khalid, Ismail bin Ja’far, Ibrahim bin Sa’d, dan yang semisal dengan mereka. Kemudian ke negeri Yaman, menimba ilmu dari para ulamanya: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadhi, dan yang lainnya. Demikian pula di Baghdad, beliau menimba ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani ahli fiqh negeri Irak, Ismail bin ‘Ulayyah, Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi, dan yang lainnya. (Diringkas dari Siyar A’lamin Nubala’, 10/6, 7, dan 12)
Kedudukan Al-Imam Asy-Syafi’i di mata pembesar umat
Perjalanan Al-Imam Asy-Syafi’i yang demikian panjang dalam menuntut ilmu benar-benar membuahkan keilmuan yang tinggi, prinsip keyakinan (manhaj) yang kokoh, akidah yang lurus, amalan ibadah yang baik, dan budi pekerti yang luhur. Tak heran bila kemudian posisi dan kedudukan beliau demikian terhormat di mata pembesar umat dari kalangan para ahli di bidang tafsir, qiraat Al-Qur’an, hadits, fiqh, sejarah, dan bahasa Arab. Kitab-kitab biografi yang ditulis oleh para ulama pun menjadi saksi terbaik atas itu semua. Berikut ini contoh dari sekian banyak penghormatan pembesar umat terhadap Al-Imam Asy-Syafi’i yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut:
Dalam kitab Tahdzibut Tahdzib karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani disebutkan bahwa:
Al-Imam Abu Zur’ah Ar-Razi  berkata: “Tidak ada satu hadits pun yang Asy-Syafi’i keliru dalam meriwayatkannya.”
Al-Imam Abu Dawud  berkata: “Asy-Syafi’i belum pernah keliru dalam meriwayatkan suatu hadits.”
Al-Imam Ali bin Al-Madini  berkata kepada putranya: “Tulislah semua yang keluar dari Asy-Syafi’i dan jangan kau biarkan satu huruf pun terlewat, karena padanya terdapat ilmu.”
Al-Imam Yahya bin Ma’in t berkata tentang Asy-Syafi’i: “Tsiqah (terpercaya).”
Al-Imam Yahya bin Sa’id Al-Qaththan t berkata: “Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih berakal dan lebih paham tentang urusan agama daripada Asy-Syafi’i.”
Al-Imam An-Nasa’i  berkata: “Asy-Syafi’i di sisi kami adalah seorang ulama yang terpercaya lagi amanah.”
Al-Imam Mush’ab bin Abdullah Az-Zubairi  berkata: “Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih berilmu dari Asy-Syafi’i dalam hal sejarah.”
Dalam Mukadimah Asy-Syaikh Ahmad bin Muhammad Syakir  terhadap kitab Ar-Risalah karya Al-Imam Asy-Syafi’i (hal. 6) disebutkan bahwa Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Kalau bukan karena Asy-Syafi’i (atas kehendak Allah l, pen.), niscaya kami tidak bisa memahami hadits dengan baik.”
Beliau juga berkata: “Asy-Syafi’i adalah seorang yang paling paham tentang Kitabullah dan Sunnah Rasulullah .”
Dalam kitab Manaqib Asy-Syafi’i karya Al-Imam Dawud bin Ali Azh-Zhahiri  disebutkan: “Telah berkata kepadaku Ishaq bin Rahawaih: ‘Suatu hari aku pergi ke Makkah bersama Ahmad bin Hanbal untuk berjumpa dengan Asy-Syafi’i. Aku pun selalu bertanya kepadanya tentang sesuatu (dari agama ini) dan aku dapati beliau sebagai seorang yang fasih serta berbudi pekerti luhur. Setelah kami berpisah dengan beliau, sampailah informasi dari sekelompok orang yang ahli di bidang tafsir Al-Qur’an bahwa Asy-Syafi’i adalah orang yang paling mengerti tafsir Al-Qur’an di masa ini. Kalaulah aku tahu hal ini, niscaya aku akan bermulazamah (belajar secara khusus) kepadanya’.”
Dawud bin Ali Azh-Zhahiri berkata: “Aku melihat adanya penyesalan pada diri Ishaq bin Rahawaih atas kesempatan yang terlewatkan itu.”
Dalam kitab Manaqib Asy-Syafi’i karya Al-Imam Al-Baihaqi  (2/42-44 dan 48) disebutkan bahwa:
Al-Imam Abdul Malik bin Hisyam Al-Mu’afiri  berkata: “Asy-Syafi’i termasuk rujukan dalam bahasa Arab.”
Al-Imam Abdul Malik bin Quraib Al-Ashma’i  berkata: “Aku mengoreksikan syair-syair Suku Hudzail kepada seorang pemuda Quraisy di Makkah yang bernama Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i.”
Al-Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam Al-Harawi  berkata: “Adalah Asy-Syafi’i sebagai rujukan dalam bahasa Arab atau seorang pakar bahasa Arab.”
Al-Imam Ahmad bin Hanbal  berkata: “Perkataan Asy-Syafi’i dalam hal bahasa Arab adalah hujjah.”
Al-Mubarrid berkata: “Semoga Allah merahmati Asy-Syafi’i. Beliau termasuk orang yang paling ahli dalam hal syair, sastra Arab, dan dialek bacaan (qiraat) Al-Qur’an.”
Menelusuri prinsip keyakinan (manhaj) Al-Imam Asy-Syafi’i
Prinsip keyakinan (manhaj) Al-Imam Asy-Syafi’i sesuai dengan prinsip keyakinan (manhaj) Rasulullah  dan para sahabatnya. Untuk lebih jelasnya, simaklah keterangan berikut ini:

a. Pengagungan Al-Imam Asy-Syafi’i terhadap Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah
Al-Imam Asy-Syafi’i adalah seorang ulama yang selalu merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah , serta berpegang teguh dengan keduanya. Cukuplah karya monumental beliau, kitab Al-Umm (terkhusus pada Kitab Jima’ul Ilmi dan Kitab Ibthalul Istihsan) dan juga kitab Ar-Risalah menjadi bukti atas semua itu. Demikian pula beliau melarang dari taklid buta. Sebagaimana dalam wasiat beliau berikut ini:
“Jika kalian mendapati sesuatu pada karya tulisku yang menyelisihi Sunnah Rasulullah , maka ambillah Sunnah Rasulullah tersebut dan tinggalkan perkataanku.”
“Jika apa yang aku katakan menyelisihi hadits yang shahih dari Nabi, maka hadits Nabi lah yang lebih utama, dan jangan kalian taklid kepadaku.” (Lihat Manaqib Asy-Syafi’i, 1/472 dan 473)
Al-Imam Al-Muzani  (salah seorang murid senior Al-Imam Asy-Syafi’i) di awal kitab Mukhtashar-nya berkata: “Aku ringkaskan kitab ini dari ilmu Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i serta dari kandungan ucapannya untuk memudahkan siapa saja yang menghendakinya, seiring dengan adanya peringatan dari beliau agar tidak bertaklid kepada beliau maupun kepada yang lainnya. Hal itu agar seseorang dapat melihat dengan jernih apa yang terbaik bagi agamanya dan lebih berhati-hati bagi dirinya.” (Dinukil dari Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i fi Itsbatil Akidah, 1/127)

b. Hadits ahad dalam pandangan Al-Imam Asy-Syafi’i
Menurut Al-Imam Asy-Syafi’i (dan para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah selainnya), tak ada perbedaan antara hadits mutawatir dan hadits ahad dalam hal hujjah, selama derajatnya shahih. Bahkan dalam kitab Ar-Risalah (hal. 369-471), Al-Imam Asy-Syafi’i menjelaskan secara panjang lebar bahwa hadits ahad adalah hujjah dalam segenap sendi agama. Lebih dari itu beliau membantah orang-orang yang mengingkarinya dengan dalil-dalil yang sangat kuat. Sehingga patutlah bila beliau dijuluki Nashirul Hadits (pembela hadits Nabi n).[3]

c. Tauhid dalam pandangan Al-Imam Asy-Syafi’i
Al-Imam Asy- Syafi’i merupakan sosok yang kokoh tauhidnya. Sangat mendalam pengetahuannya tentang tauhid dan jenis-jenisnya, baik tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah maupun tauhid asma’ wash shifat. Bahkan kitab-kitab beliau merupakan contoh dari cerminan tauhid kepada Allah .
Di antaranya apa yang terdapat dalam mukadimah kitab Ar-Risalah berikut ini: “Segala puji hanya milik Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Rabb mereka. Segala puji hanya milik Allah yang tidaklah mungkin satu nikmat dari nikmat-nikmat-Nya disyukuri melainkan dengan nikmat dari-Nya pula. Yang mengharuskan seseorang kala mensyukuri kenikmatan-Nya yang lampau untuk mensyukuri kenikmatan-Nya yang baru.[4] Siapa pun tak akan mampu menyifati hakikat keagungan-Nya. Dia sebagaimana yang disifati oleh diri-Nya sendiri dan di atas apa yang disifati oleh para makhluk-Nya. Aku memuji-Nya dengan pujian yang selaras dengan kemuliaan wajah-Nya dan keperkasaan ketinggian-Nya.[5] Aku memohon pertolongan dari-Nya, suatu pertolongan dari Dzat yang tidak ada daya dan upaya melainkan dari-Nya. Aku memohon petunjuk dari-Nya, Dzat yang dengan petunjuk-Nya tidak akan tersesat siapa pun yang ditunjuki-Nya. Aku pun memohon ampunan-Nya atas segala dosa yang telah lalu maupun yang akan datang, permohonan seorang hamba yang meyakini bahwa tiada yang berhak diibadahi melainkan Dia, seorang hamba yang mengetahui dengan pasti bahwa tiada yang dapat mengampuni dosanya dan menyelamatkannya dari dosa tersebut kecuali Dia. Aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi melainkan Dia semata, dan aku bersaksi pula bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya…”[6]
Al-Imam Asy-Syafi’i sangat berupaya untuk menjaga kemurnian tauhid. Oleh karena itu, beliau sangat keras terhadap segala perbuatan yang dapat mengantarkan kepada syirik akbar (syirik besar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam), seperti mendirikan bangunan di atas kubur dan menjadikannya sebagai tempat ibadah, bersumpah kepada selain Allah , dan sebagainya. (Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i Fi Itsbatil Akidah, 2/517)
Penting untuk disebutkan pula bahwa prinsip Al-Imam Asy-Syafi’i dalam hal tauhid asma’ wash shifat sesuai dengan prinsip Rasulullah n dan para sahabatnya g serta menyelisihi prinsip kelompok Asy’ariyyah ataupun Maturidiyyah.[7] Yaitu menetapkan semua nama dan sifat bagi Allah  sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan dijelaskan dalam hadits Nabi yang shahih. Menetapkannya tanpa menyerupakan dengan sesuatu pun, dan mensucikan Allah  tanpa meniadakan (ta’thil) nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Sebagaimana yang dikandung firman Allah :
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan lagi Maha melihat.” (Asy-Syura: 11)
Jauh dari sikap membayangkan bagaimana hakikat sifat Allah  (takyif) dan jauh pula dari sikap memalingkan makna sifat Allah  yang sebenarnya kepada makna yang tidak dimaukan Allah  dan Rasul-Nya (tahrif). Demikianlah prinsip yang senantiasa ditanamkan Al-Imam Asy-Syafi’i kepada murid-muridnya.
Al-Hafizh Ibnu Katsir  berkata: “Telah diriwayatkan dari Ar-Rabi’ dan yang lainnya, dari para pembesar murid-murid Asy-Syafi’i, apa yang menunjukkan bahwa ayat dan hadits tentang sifat-sifat Allah  tersebut dimaknai sesuai dengan makna zhahirnya, tanpa dibayangkan bagaimana hakikat sifat tersebut (takyif), tanpa diserupakan dengan sifat makhluk-Nya (tasybih), tanpa ditiadakan (ta’thil), dan tanpa dipalingkan dari makna sebenarnya yang dimaukan Allah  dan Rasul-Nya  (tahrif).” (Al-Bidayah wan Nihayah, 10/265)

d. Permasalahan iman menurut Al-Imam Asy-Syafi’i
Iman menurut Al-Imam Asy-Syafi’i mencakup ucapan, perbuatan, dan niat (keyakinan). Ia bisa bertambah dengan ketaatan dan bisa berkurang dengan kemaksiatan. Adapun sikap beliau terhadap pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik) yang meninggal dunia dalam keadaan belum bertaubat darinya, maka selaras dengan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah dan menyelisihi prinsip ahlul bid’ah, dari kalangan Khawarij, Mu’tazilah, maupun Murji’ah. Yaitu tergantung kepada kehendak Allah l. Jika Allah  berkehendak untuk diampuni maka terampunilah dosanya, dan jika Allah  berkehendak untuk diazab maka akan diazab terlebih dahulu dalam An-Nar, namun tidak kekal di dalamnya. (Lihat Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i fi Itsbatil Akidah, 2/516)

e. Permasalahan takdir dan Hari Akhir menurut Al-Imam Asy-Syafi’i
Al-Imam Asy-Syafi’i  berkata: “Sesungguhnya kehendak para hamba tergantung kehendak Allah . Tidaklah mereka berkehendak kecuali atas kehendak Allah Rabb semesta alam. Manusia tidaklah menciptakan amal perbuatannya sendiri. Amal perbuatan mereka adalah ciptaan Allah . Sesungguhnya takdir baik dan takdir buruk semuanya dari Allah . Sesungguhnya azab kubur benar adanya, pertanyaan malaikat kepada penghuni kubur benar adanya, hari kebangkitan benar adanya, penghitungan amal di hari kiamat benar adanya, Al-Jannah dan An-Nar benar adanya, dan hal lainnya yang disebutkan dalam Sunnah Rasulullah  serta disampaikan melalui lisan para ulama di segenap negeri kaum muslimin (benar pula adanya).” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/415)
Ketika ditanya tentang dilihatnya Allah  (ru’yatullah) di hari kiamat, maka Al-Imam Asy-Syafi’i mengatakan: “Demi Allah, jika Muhammad bin Idris tidak meyakini akan dilihatnya Allah  di hari kiamat, niscaya dia tidak akan beribadah kepada-Nya di dunia.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/419)

f. Penghormatan Al-Imam Asy-Syafi’i t terhadap para sahabat Nabi
Al-Imam Asy-Syafi’i sangat menghormati para sahabat Nabi. Hal ini sebagaimana tercermin dalam kata-kata beliau berikut ini: “Allah  telah memuji para sahabat Nabi  dalam Al-Qur’an, Taurat, dan Injil. Keutamaan itu pun (sungguh) telah terukir melalui lisan Rasulullah . Suatu keutamaan yang belum pernah diraih oleh siapa pun setelah mereka. Semoga Allah l merahmati mereka dan menganugerahkan kepada mereka tempat tertinggi di sisi para shiddiqin, syuhada, dan shalihin. Merekalah para penyampai ajaran Rasulullah  kepada kita. Mereka pula para saksi atas turunnya wahyu kepada Rasulullah . Oleh karena itu, mereka sangat mengetahui apa yang dimaukan Rasulullah  terkait dengan hal-hal yang bersifat umum maupun khusus, serta yang bersifat keharusan maupun anjuran. Mereka mengetahui Sunnah Rasulullah , baik yang kita ketahui ataupun yang tidak kita ketahui. Mereka di atas kita dalam hal ilmu, ijtihad, wara’, ketajaman berpikir dan menyimpulkan suatu permasalahan berdasarkan ilmu. Pendapat mereka lebih baik dan lebih utama bagi diri kita daripada pendapat kita sendiri. Wallahu a’lam.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/442)
Demikian pula beliau sangat benci terhadap kaum Syi’ah Rafidhah yang menjadikan kebencian terhadap mayoritas para sahabat Nabi n sebagai prinsip dalam beragama. Hal ini sebagaimana penuturan Yunus bin Abdul A’la: “Aku mendengar celaan yang dahsyat dari Asy-Syafi’i –jika menyebut Syi’ah Rafidhah– seraya mengatakan: ‘Mereka adalah sejelek-jelek kelompok’.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/468)

g. Sikap Al-Imam Asy-Syafi’i t terhadap kelompok-kelompok sesat
Al-Imam Al-Baihaqi  berkata: “Adalah Asy-Syafi’i seorang yang bersikap keras terhadap ahlul ilhad (orang-orang yang menyimpang dalam agama) dan ahlul bid’ah. Beliau tampakkan kebencian dan pemboikotan (hajr) tersebut kepada mereka.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/469)
Al-Imam Al-Buwaithi  berkata: “Aku bertanya kepada Asy-Syafi’i, ‘Apakah aku boleh shalat di belakang seorang yang berakidah Syi’ah Rafidhah?’ Maka beliau menjawab: ‘Jangan shalat di belakang seorang yang berakidah Syi’ah Rafidhah, seorang yang berakidah Qadariyyah, dan seorang yang berakidah Murjiah’.” (Lihat Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i fi Itsbatil Akidah, 1/480)
Al-Imam Asy-Syafi’i t berkata: “Tidaklah seorang sufi bisa menjadi sufi tulen hingga mempunyai empat karakter: pemalas, suka makan, suka tidur, dan selalu ingin tahu urusan orang lain.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 2/207)
Akhir kata, demikianlah sekelumit tentang kehidupan Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i  dan prinsip keyakinan (manhaj) beliau yang dapat kami sajikan kepada para pembaca. Seorang ulama besar yang penuh jasa, yang meninggal dunia di Mesir pada malam Jum’at 29 Rajab 204 H, bertepatan dengan 19 Januari 820 M, dalam usia 54 tahun.[8]
Rahimahullahu rahmatan wasi’ah, wa ghafara lahu, wa ajzala matsubatahu, wa askanahu fi fasihi jannatihi. Amin.

1 Sebagian riwayat menyebutkan bahwa ia adalah Makkah, dan sebagian yang lain bukan Makkah.
2 Lihat perkataan mereka pada sub judul Kedudukan Al-Imam Asy-Syafi’i di mata pembesar umat.
3 Lihat Manaqib Asy-Syafi’i, 1/472.
4 Ungkapan di atas mengandung makna tauhid rububiyah.
5 Ungkapan di atas mengandung makna tauhid asma’ wash shifat.
6 Ungkapan di atas mengandung makna tauhid uluhiyah.
7 Sungguh mengherankan orang-orang yang sangat fanatik terhadap madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i dalam masalah fiqh, sementara dalam masalah tauhid asma’ wash shifat mereka tinggalkan madzhab beliau yang lurus, kemudian berpegang dengan madzhab Asy’ariyyah atau Maturidiyyah yang sesat.
8 Lihat Mukadimah Asy-Syaikh Ahmad bin Muhammad Syakir terhadap kitab Ar-Risalah hal. 8.
(ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc.)
Artikel ditulis pada 19/11/2011
Kategori Asy Syariah Edisi 055
Didukung oleh: WebMasterKHAS
Share:

Kalender Hijriyah

Paling Banyak Diakses

Radio Ar-Risalah Jombang

Radio Islam Indonesia