Kamis, 22 Desember 2016

Link Audio Kajian Islam Ilmiyyah di Kota Jombang Robiuts tsani 1438 H

Update
Audio rekaman 🔊📥

KAJIAN ISLAM ILMIYYAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH KOTA JOMBANG


🗓 Hari ahad, 09 Robiuts tsani 1438 H /  8 Januari 2016 M di Masjid Ma'had Ar Risalah Jombang

💺 Pemateri AlUstadz Muhammad Rijal, lc hafizhahullah.

↘📥unduh kajian :

🔹 Taushiyah ba'da isya
📥http://bit.ly/2iU4hUQ

🔹 Taushiyah ba'da subuh
📥 http://bit.ly/2j0uPmz

🔹  FITNAH AKHIR ZAMAN  Berita dan Bimbingan
Sesi 1
📥http://bit.ly/2i5eD6W

🔹 FITNAH AKHIR ZAMAN  Berita dan Bimbingan
Sesi 2
📥http://bit.ly/2jk9kNe

🔆Wa Salafy Jombang🔆
Share:

Jumat, 09 Desember 2016

Pesona Malu Wanita Mulia

Pesona Malu Wanita Mulia

Oleh: Al-Ustadz Marwan

Malu adalah bagian dari keimanan. Tidaklah malu tersemat pada satu pribadi melainkan menjadi kebaikan baginya. Malu akan menginspirasi seseorang untuk berhias dengan berbagai perilaku mulia. Rasulullah n menuturkan, sebagaimana disebutkan secara otentik dalam hadits riwayat Muslim,

الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ شُعْبَةً، فَأَعْلَاهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيمَانِ

“Keimanan itu memiliki tujuh puluh lebih cabang. Cabang tertinggi adalah ucapan La ilaha illallah, sedangkan cabangterendah adalah menghilangkan gangguan dari jalan. Sifat malu adalah salah satu cabang keimanan.”

Malu adalah salah satu cabang keimanan. Cukuplah hal ini menunjukkan kemuliaan sifat malu. Orang yang memiliki sifat malu akan tercegah dari hal-hal yang tidak layak diperbuat. Tidak adanya rasa malu menunjukkan lemahnya keimanan seseorang. Sebaliknya, memiliki rasa malu menunjukkan sempurnanya keimanan seseorang.

Malu adalah salah satu akhlak para malaikat, sebagaimana termaktub dalam sabda Rasul n tentang Utsman bin ‘Affan a,

أَلَا أَسْتَحِي مِنْ رَجُلٍ تَسْتَحِي مِنْهُ الْمَلَائِكَةُ

“Tidakkah aku malu kepada seseorang yang malaikat merasa malu kepadanya?”

Al-Imam an-Nawawi t menukilkan perkataan para ulama tentang hakikat malu, “(Malu) adalah perilaku yang memberikan motivasi untuk meninggalkan kejelekan dan mencegah tindakan mengurangi hak orang lain.”



Malu adalah Akhlak Warisan Para Nabi

Rasul kita, Muhammad n, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amir al-Anshari a, bersabda,

إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى: إِذَا لَمْ تَستَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ

“Sesungguhnya, di antara ucapan nabi-nabi terdahulu yang didapati oleh manusia adalah, ‘Jika kamu tidak memiliki rasa malu, lakukan apa saja yang kamu suka’.”

Hadits ini menunjukkan bahwa seruan untuk memiliki sifat malu saling diwariskan oleh orang-orang pada masa lalu; diambil dari para nabi terdahulu, lalu mengalir secara estafet dari generasi ke generasi, dan sampailah pada umat Rasulullah n. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa salah satu warisan dakwah para nabi terdahulu adalah seruan untuk memiliki sifat malu. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Rajab al-Hambali t dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam.

Ada kisah penuh faedah tentang Nabi Musa q ketika berada di negeri Madyan. Disebutkan dalam firman Allah l,

ﮋ ﭝ  ﭞ  ﭟ  ﭠ  ﭡ  ﭢ  ﭣ  ﭤ     ﭥ   ﭦ  ﭧ  ﭨ  ﭩ  ﭪ  ﭫﭬ   ﭭ  ﭮ  ﭯﭰ  ﭱ  ﭲ  ﭳ  ﭴ  ﭵ  ﭶﭷ  ﭸ   ﭹ  ﭺ  ﭻ  ﭼ  ﭽ  ﭾ  ﭿ  ﮀ    ﮁ  ﮂ    ﮃ  ﮄ       ﮅ     ﮆ  ﮇ    ﮈ   ﮉ    ﮊ  ﮋ  ﮌ  ﮍ         ﮎ  ﮏ  ﮐ  ﮑ  ﮒ   ﮓ  ﮔ  ﮕ         ﮖ   ﮗ  ﮘ  ﮙﮚ  ﮛ  ﮜ  ﮝ  ﮞ  ﮟ     ﮠ   ﮡ  ﮢﮣ  ﮤ  ﮥ  ﮦ     ﮧ  ﮨ  ﮊ

 “Tatkala sampai di sumber air negeri Madyan, ia (Musa) menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang memberi minum (ternak). Ia menjumpai di belakang orang banyak itu dua orang wanita yang sedang menghambat (ternakmereka). Musa berkata, ‘Apakah maksudmu (berbuat begitu)?’ Kedua wanita itu menjawab, ‘Kami tidak dapat memberi minum (ternak kami) sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternak mereka), sedangkan bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya.’

Musa pun memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya, kemudian dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa, ‘Ya Rabb-ku, sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.’

Kemudian, datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu, berjalan dengan malu-malu. Ia berkata, ‘Sesungguhnya bapakku memanggilmu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami.’ Tatkala Musa mendatangi bapaknya dan menceritakan kepadanya (mengenai dirinya), bapaknya berkata, ‘Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu’.” (al-Qashash: 23—25)

Kalimat “…salah seorang dari kedua wanita itu berjalan dengan malu-malu” menunjukkan akhlak baik wanita tersebut. Sebab, malu adalah salah satu akhlak mulia, terkhusus pada diri seorang wanita. Menurut ‘Umar a, sebagaimana riwayat Ibnu Abi Hatim, dengan sanad yang shahih: “Wanita itu datang memanggil dengan malu-malu, sambil menutupi wajahnya dengan kainnya. Bukan wanita ‘berani’, yang suka keluar masuk (menemui laki-laki).” Ayat tersebut juga menunjukkan bahwa tindakan Nabi Musa q menolong keduanya memberi minum ternak tidaklah seperti yang dilakukan oleh buruh upahan atau pelayan yang pada umumnya orang tidak merasa malu kepada mereka. Akan tetapi, pertolongan yang diberikan oleh Nabi Musa q bersumber dari kemuliaan jiwanya. Si wanita melihat kebaikan dan kemuliaan akhlak Nabi Musa q, sehingga tumbuhlah rasa malu pada dirinya kepada beliau q.

Salah satu faedah besar yang terdapat dalam ayat yang mulia di atas, kedua putri orang saleh dari negeri Madyan[1]tersebut memiliki sifat pemalu. Sifat ini tumbuh dan bersemi sebagai hasil bimbingan keluarga yang telah mendidik akhlak mereka. Mereka telah dididik agar memiliki akhlak malu dan menjaga kehormatan diri.

Maka akhlak mulia yang seyogianya senantiasa menghiasi diri seorang wanita adalah sifat malu. Tidak sepantasnya sifat ini ditanggalkan dari jiwa seorang wanita. Oleh karena itu, setiap orang tua atau wali seorang wanita bertanggung jawab mendidik putri-putrinya agar menjaga sifat malu yang menjadi fitrahnya. Sebab, malu adalah pesona dan perhiasan wanita, apabila tercabut, tercabut pulalah seluruh kemuliaan si wanita.

Diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dari Ibnu ‘Umar c, beliau menuturkan, “Sesungguhnya, sifat malu dan keimanan itu selalu bergabung secara keseluruhan. Jika hilang salah satu dari keduanya, hilanglah semuanya.”

Artinya, hilang keagungan dan kesempurnaannya.

Malu adalah Akhlak Rasulullah n dan Para Sahabat

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri a, ia mengatakan, “Rasulullah n sangat pemalu, melebihi gadis-gadis pingitan di tempat pingitan mereka. Jika Rasulullah n tidak menyukai sesuatu, kami bisa mengetahuinya dari raut wajah beliau.”

Gadis pingitan adalah gadis yang ditempatkan di ruangan khusus di dalam rumah. Gadis tersebut merasa sangat malu ketika dinikahi oleh seorang pria dan berduaan untuk pertama kalinya dengan suami yang baru saja dikenalnya. Sifat malu Rasulullah n lebih besar daripada sifat malu gadis pingitan tersebut.

An-Nawawi t mengatakan, “Nabi n tidak berbicara tentang sesuatu yang tidak beliau sukai. Hal ini disebabkan oleh sifat malu yang beliau miliki. Ketika tidak menyukai sesuatu, raut wajah beliau berubah, sehingga ketidaksukaan beliau tersebut bisa diketahui.”

Diceritakan oleh ‘Aisyah c bahwa suatu ketika, Rasulullah n pernah berbaring di rumahnya dalam keadaan tersingkap dua paha atau dua betis beliau. Kemudian Abu Bakr meminta izin untuk menemui Rasulullah n. Rasulullah n pun mengizinkan Abu Bakr untuk masuk, sedangkan beliau tetap seperti itu. Lalu Abu Bakr berbincang-bincang dengan beliau.

Kemudian, ‘Umar a juga meminta izin. Rasulullah n mengizinkan ‘Umar untuk masuk, dan beliau masih seperti itu. ‘Umar pun berbincang-bincang dengan beliau.

Lalu datanglah ‘Utsman a meminta izin untuk menemui beliau. Rasulullah n langsung duduk dan segera membenahi pakaiannya.  ‘Utsman a pun masuk dan berbincang-bincang dengan beliau.

Tatkala ‘Utsman a telah keluar, ‘Aisyah berkata, “Abu Bakr masuk menemuimu, namun engkau tidak bersiap menyambut dan tidak memedulikannya. Begitu pula ‘Umar masuk menemuimu, engkau juga tidak bersiap menyambut dan tidak memedulikannya pula. Namun  ketika ‘Utsman masuk, engkau segera duduk dan membenahi pakaianmu.”

Rasulullah n menjawab, “Tidakkah aku malu kepada seseorang yang para malaikat malu kepadanya?” (HR. Muslim no. 2401)

Dalam riwayat yang lain, Rasulullah n berkata, “Sesungguhnya ‘Utsman sangat pemalu. Aku khawatir, jika aku mengizinkannya (untuk menemuiku) sedangkan aku dalam keadaan seperti itu, ia tidak bisa menyampaikan keperluannya kepadaku.” (HR. Muslim no. 2402)

Sifat Malu Tidaklah Mendatangkan Selain Kebaikan

Perilaku santun, berwibawa, dan menjaga kehormatan diri tumbuh dari sifat malu yang terpuji. Rasulullah n bersabda, sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik n,

مَا كَانَ الْحَيَاءُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ وَ مَا كَانَ الْفُحْشُ فِي شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ

“Tidaklah sifat malu itu tersemat pada sesuatu melainkan akan menghiasinya, dan tidaklah kekejian itu terdapat pada sesuatu melainkan akan menjelekkannya.”

Di antara keutamaan sifat malu adalah menjadi penghias setiap urusan. Maka dari itu, berhiaslah  selalu dengan sifat malu yang merupakan salah satu cabang keimanan, akhlak warisan para nabi, akhlak para malaikat Allah, dan akhlak Rasulullah serta para sahabat beliau.

Terakhir, sifat malu tidaklah mendatangkan selain kebaikan. Sifat malu seluruhnya adalah kebaikan. Sifat malu sama sekali tidak mendatangkan kemudaratan. Mengetahui hakikat malu adalah sebuah keharusan. Malu adalah bagian dari agama ini. Ia akan mencegah seseorang dari sikap lancang terhadap agama ini dan dari seluruh perbuatan keji serta akhlak tercela.

Wallahu a’lam.



[1] Para ulama berselisih pendapat tentang siapa orang tua yang saleh (ayah kedua wanita) tersebut. Ibnu Katsir t merajihkan bahwa dia bukanlah Nabi Syu’aib q. Alasan beliau antara lain ialah, seandainya memang Nabi Syu’aib, tentulah akan disebutkan dengan jelas di dalam al-Qur’an. Demikian pula, tidak ada hadits shahih yang menyebutkan secara tegas tentang nama orang tua yang saleh ini. Wallahu a’lam.

http://qonitah.com/pesona-malu-wanita-mulia/
Share:

Pendidikan Anak, Tanggung Jawab Siapa?

Pendidikan Anak, Tanggung Jawab Siapa?

Artikel ditulis pada
Kategori Asy Syariah Edisi 104, Manhaji , Tag Pendidikan Anak

Telah menjadi suratan ilahi bahwa manusia termasuk salah satu makhluk Allah subhanahu wa ta’ala yang menjalani roda kehidupan di dunia yang fana ini. Dengan segala hikmah dan keadilan-Nya Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan mereka makhluk sosial yang hidup bermasyarakat. Berawal dari sepasang insan suami dan istri, kemudian berkembang biak menurunkan anak-anak dan cucu-cucu. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

  وَٱللَّهُ جَعَلَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا وَجَعَلَ لَكُم مِّنۡ أَزۡوَٰجِكُم بَنِينَ وَحَفَدَةٗ وَرَزَقَكُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِۚ أَفَبِٱلۡبَٰطِلِ يُؤۡمِنُونَ وَبِنِعۡمَتِ ٱللَّهِ هُمۡ يَكۡفُرُونَ ٧٢

“Allah menjadikan bagi kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri dan menjadikan bagi kalian dari istri-istri kalian itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberi kalian rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?” (an-Nahl: 72)

Dalam pandangan Islam, istri dan anak tak sebatas anugerah yang patut disyukuri. Lebih dari itu, mereka adalah amanat yang berada di pundak setiapkepala keluarga. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَيۡهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٞ شِدَادٞ لَّا يَعۡصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمۡ وَيَفۡعَلُونَ مَا يُؤۡمَرُونَ ٦

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (at-Tahrim: 6)

Terkait ayat di atas, Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata, “Ajarkanlah kepada diri kalian dan keluarga kalian kebaikan, serta didiklah mereka!”

Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Lakukanlah ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, jauhilah kemaksiatan kepada-Nya subhanahu wa ta’ala, dan suruhlah keluarga kalian berzikir; niscaya Allah subhanahu wa ta’ala akan menyelamatkan kalian dari api neraka.” Beliau juga berkata, “Didiklah keluarga kalian!” (Fathul Qadir 5/305, al-Imam asy-Syaukani)

Betapa indahnya Islam manakala menjadikan pendidikan anak sebagai kegiatan bersama (amal jama’i) yang melibatkan suami dan istri. Istri selaku ibu bagi anak-anak benar-benar dihargai keberadaannya dan diposisikan sebagai patner utama sang suami selaku kepala keluarga dalam mendidik anak-anak mereka. Harapannya, keduanya saling bekerja sama dan bahu membahu secara optimal dalam memikul tanggung jawab pendidikan yang besar tersebut.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ

“Seorang lelaki adalah pemimpin bagi keluarganya dan dia bertanggung jawab terhadap mereka. Seorang wanita adalah pengatur bagi rumah suaminya dan anak-anaknya, dan dia bertanggung jawab terhadap mereka.” ( HR. al-Bukhari no. 6605 dan Muslim no. 3408 dari sahabat Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma, dengan lafaz Muslim)

Asy-Syaikh al-‘Allamah Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Orang yang paling pantas mendapatkan baktimu dan paling berhak memperoleh kebaikanmu adalah anak-anakmu. Sungguh, mereka adalah amanat yang diletakkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala di sisimu. Allah subhanahu wa ta’ala pun mewasiatkan kepadamu agar mendidik mereka dengan sebaik-baiknya, baik terkait dengan jasmani maupun rohani mereka. Semua yang engkau lakukan terhadap mereka dari kegiatan yang bersifat mendidik, baik yang kecil maupun yang besar, termasuk penunaian kewajiban yang diwajibkan kepadamu dan amalan termulia yang dapat mendekatkanmu kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Bersungguh-sungguhlah dalam hal ini dan berharaplah pahala dari Allah subhanahu wa ta’ala.” (Bahjatu Qulub al-Abrar wa Qurratu Uyuni al-Akhyar fi Syarhi Jawami’ al-Akhbar, hlm. 154/ pembahasan hadits ke-67)

Di antara bentuk tanggung jawab dan kesungguhan orang tua dalam mendidik buah hatinya adalah adanya nilai-nilai keteladanan dari orang tua yang dirasakan secara nyata oleh si buah hati. Demikian pula lantunan do’a yang senantiasa dipanjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, memohon kebaikan si buah hati. Keduanya, diyakini mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi perjalanan hidup si buah hati.


Sejauh Manakah Peran Orang Tua dalam Pendidikan Si Buah Hatinya?

Setiap anak terlahir di atas fitrah yang suci. Kedua orang tuanya sebagai peletak batu dasar pertama pendidikannya, sangat berperan dalam mengantarkannya kepada kehidupan yang baik ataupun yang buruk (dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِ، كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ، هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ؟

“Tidaklah seorang anak dilahirkan kecuali di atas fitrah yang suci. Hanya saja kedua orang tuanya yang berperan menjadikannya seorang Yahudi, Nasrani, dan Majusi. Layaknya seekor hewan ternak yang melahirkan anaknya dalam keadaan sempurna fisiknya, apakah kalian melihat pada tubuhnya bagian yang terputus?” (HR. al-Bukhari no. 1358 dan Muslim no. 2658 dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)

Setiap orang tua bertanggung jawab terhadap tumbuh kembang anaknya baik yang bersifat jasmani maupun rohani. Oleh karena itu, di samping kebutuhan jasmani yang harus dipenuhi secara optimal, demikian pula kebutuhan rohaninya; akidah, ibadah, akhlak, dan manhaj. Bahkan itulah yang semestinya lebih diutamakan.

Asy-Syaikh al-‘Allamah Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Manakala Anda (orang tua, – pen.) memenuhi kebutuhan anak-anak dalam hal pangan, sandang, dan jasmani terbilang telah menunaikan hak dan mendapatkan pahala karenanya, demikian pula—bahkan lebih utama dari itu—manakala Anda memenuhi kebutuhan mereka dalam hal pendidikan jiwa dan kerohanian dengan memberikan ilmu yang bermanfaat, pengetahuan yang benar, arahan kepada budi pekerti luhur, serta peringatan dari dekadensi moral.

Pembekalan anak-anak dengan adab yang mulia tersebut sungguh lebih baik bagi mereka dari pemberian emas, perak, dan ragam fasilitas duniawi lainnya baik sekarang maupun pada masa yang akan datang. Sebab, dengan adab-adab yang mulia itulah mereka akan terhormat, berbahagia, dimudahkan dalam menunaikan berbagai kewajiban baik terkait dengan hak Allah subhanahu wa ta’ala maupun hak sesama, dapat menghindarkan diri dari hal-hal yang merusak, dan lebih sempurna dalam mempersembahkan bakti kepada kedua orang tua mereka.” (Bahjatu Qulub al-Abrar wa Qurratu Uyuni al-Akhyar fi Syarhi Jawami’ al-Akhbar, hlm. 154/ pembahasan hadits ke-67)

Realita menunjukkan bahwa tidak sedikit dari orang tua yang hanya memperhatikan kebutuhan jasmani si buah hatinya. Adapun kebutuhan rohaninya diabaikan begitu saja. Padahal itulah bekal utamanya dalam mengarungi kehidupan dunia yang penuh dengan ujian dan cobaan ini.

Tak jarang pula orang tua yang siap menuruti segala permintaan buah hatinya walaupun harus menabrak norma agama dan budi pekerti yang luhur. Menurutnya, dengan itu dia memuliakan buah hatinya, padahal hakikatnya menyengsarakannya.

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Betapa banyak orang tua yang menyengsarakan si buah hatinya di dunia dan di akhirat dengan menelantarkannya, tidak mendidiknya, dan bahkan mendukungnya dalam mewujudkan berbagai keinginan hawa nafsunya.

Dia beranggapan bahwa itulah wujud pemuliaan terhadap si buah hati, padahal hakikatnya menyengsarakannya. Dia beranggapan bahwa itulah wujud kasih sayang kepada si buah hati, padahal hakikatnya menzaliminya. Akibatnya, sirnalah kesempatannya untuk mengambil kemanfaatan dari si buah hatinya, sebagaimana pula (dengan itu, -pen.) dia telah melenyapkan sisi kebaikan dari buah hatinya di dunia dan di akhirat.

Jika Anda memperhatikan kerusakan yang menimpa anak-anak, sungguh Anda akan melihat bahwa mayoritas sebabnya berasal dari pihak orang tua.” (Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud, hlm. 242)

Asy-Syaikh Abdullah bin Abdur Rahim al-Bukhari hafizhahullah berkata, “Di antara kewajiban pertama yang harus dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya adalah menyelamatkan mereka dari api neraka. Bahkan, inilah amalan termulia yang dapat dilakukan oleh para orang tua untuk anak-anak mereka.

Termasuk hal aneh—dan yang aneh itu banyak—Anda dapat melihat sebagian orang tua sangat gundah dan gulana manakala prestasi sekolah (rangking) putra-putrinya menurun. Suasana duka dan lara benar-benar menyelimutinya! Namun, manakala iman dan akhlaknya yang menurun, hatinya tak tergerak sedikitpun dan tak mau peduli, kecuali para hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang dirahmati-Nya, dan betapa sedikitnya mereka! Manakala si buah hati absen sekolah, Anda dapat melihat sebagian orang tua stress karenanya. Namun, manakala si buah hati enggan pergi ke masjid, absen shalat berjamaah dan shalat Jumat—terkhusus anak laki-laki—Anda dapat melihat banyak orang tua yang hatinya tak tergerak karenanya! Hanya kepada Allah-lah tempat mengadu.” (Huququl Aulad ‘Alal Abaa’ wal Ummahat, hlm. 13—14)


Keteladanan Para Nabi dan Orang Saleh dalam Mendidik Si Buah Hati

Apabila kita mencermati keteladanan para nabi dan orang-orang saleh dalam mendidik si buah hati, sangat tampak sekali perhatian dan kepedulian mereka terhadap sisi kerohanian dibandingkan dengan sisi kejasmanian. Sebab, kesuksesan pendidikan dalam hal kerohanian; akidah, ibadah, akhlak, dan manhaj akan mengantarkan si buah hati kepada kebahagiaan hakiki baik di dunia maupun di akhirat.

Tak mengherankan apabila sisi inilah yang menjadi perhatian dan kepedulian “orang-orang besar” di setiap generasi ketika mendidik buah hatinya. Lihatlah Nabi Ibrahim q dan Nabi Ya’qub q yang mendidik anak-anak mereka agar selalu berpegang teguh dengan agama Islam dan berada di atas tauhid.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَوَصَّىٰ بِهَآ إِبۡرَٰهِ‍ۧمُ بَنِيهِ وَيَعۡقُوبُ يَٰبَنِيَّ إِنَّ ٱللَّهَ ٱصۡطَفَىٰ لَكُمُ ٱلدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسۡلِمُونَ ١٣٢

أَمۡ كُنتُمۡ شُهَدَآءَ إِذۡ حَضَرَ يَعۡقُوبَ ٱلۡمَوۡتُ إِذۡ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعۡبُدُونَ مِنۢ بَعۡدِيۖ قَالُواْ نَعۡبُدُ إِلَٰهَكَ وَإِلَٰهَ ءَابَآئِكَ إِبۡرَٰهِ‍ۧمَ وَإِسۡمَٰعِيلَ وَإِسۡحَٰقَ إِلَٰهٗا وَٰحِدٗا وَنَحۡنُ لَهُۥ مُسۡلِمُونَ ١٣٣

“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata), “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagi kalian, maka janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan memeluk agama Islam.”

Adakah kalian hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya, “Apa yang kalian sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Rabbmu dan Rabb nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Rabb yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.” (al-Baqarah: 132—133)

Lihatlah hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang saleh, Luqman al-Hakim yang mendidik buah hatinya di atas norma luhur kerohanian.

Mendidiknya agar selalu memerhatikan hak-hak Allah subhanahu wa ta’ala dengan mentauhidkan-Nya dan tidak berbuat syirik kepada-Nya, senantiasa merasa dalam pengawasan-Nya (muraqabatullah), dan menegakkan shalat sebagai bentuk ibadah dan munajat kepada-Nya.
Mendidiknya agar selalu memperhatikan hak-hak kedua orang tua dengan berbakti kepada keduanya dan tidak mendurhakainya.
Mendidiknya agar selalu memperhatikan hak-hak orang lain dengan berlaku santun, melunakkan suara, dan tidak sombong baik dalam sikap maupun perbuatan.
Mendidiknya agar selalu istiqamah dan peduli dengan urusan dakwah beserta segala konsekuensinya dengan menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar, serta bersabar atas segala ujian dan cobaan.
Paparan norma-norma luhur itu diabadikan dalam Kitab Suci al-Qur’an surat Luqman ayat 13—19. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَإِذۡ قَالَ لُقۡمَٰنُ لِٱبۡنِهِۦ وَهُوَ يَعِظُهُۥ يَٰبُنَيَّ لَا تُشۡرِكۡ بِٱللَّهِۖ إِنَّ ٱلشِّرۡكَ لَظُلۡمٌ عَظِيمٞ ١٣ وَوَصَّيۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيۡهِ حَمَلَتۡهُ أُمُّهُۥ وَهۡنًا عَلَىٰ وَهۡنٖ وَفِصَٰلُهُۥ فِي عَامَيۡنِ أَنِ ٱشۡكُرۡ لِي وَلِوَٰلِدَيۡكَ إِلَيَّ ٱلۡمَصِيرُ ١٤ وَإِن جَٰهَدَاكَ عَلَىٰٓ أَن تُشۡرِكَ بِي مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٞ فَلَا تُطِعۡهُمَاۖ وَصَاحِبۡهُمَا فِي ٱلدُّنۡيَا مَعۡرُوفٗاۖ وَٱتَّبِعۡ سَبِيلَ مَنۡ أَنَابَ إِلَيَّۚ ثُمَّ إِلَيَّ مَرۡجِعُكُمۡ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ ١٥ يَٰبُنَيَّ إِنَّهَآ إِن تَكُ مِثۡقَالَ حَبَّةٖ مِّنۡ خَرۡدَلٖ فَتَكُن فِي صَخۡرَةٍ أَوۡ فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ أَوۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ يَأۡتِ بِهَا ٱللَّهُۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٞ ١٦ يَٰبُنَيَّ أَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَٱنۡهَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَٱصۡبِرۡ عَلَىٰ مَآ أَصَابَكَۖ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنۡ عَزۡمِ ٱلۡأُمُورِ ١٧ وَلَا تُصَعِّرۡ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمۡشِ فِي ٱلۡأَرۡضِ مَرَحًاۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخۡتَالٖ فَخُورٖ ١٨ وَٱقۡصِدۡ فِي مَشۡيِكَ وَٱغۡضُضۡ مِن صَوۡتِكَۚ إِنَّ أَنكَرَ ٱلۡأَصۡوَٰتِ لَصَوۡتُ ٱلۡحَمِيرِ ١٩

Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya, “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.”

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada- Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.

(Luqman berkata), “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya), sesungguhnya Allah Mahahalus lagi Maha Mengetahui. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya hal itu termasuk halhal yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu, sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (Luqman: 13—19)

Lihatlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memberikan pendidikan dasar akidah kepada putra paman beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma yang kala itu masih kanak-kanak. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا غُلَامُ إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ، احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ، وَلَوْ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ الْأَقْلَامُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ

“Hai anak! Sungguh, aku akan mengajarimu beberapa petuah penting. Jagalah Allah subhanahu wa ta’ala (syariat-Nya), niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah subhanahu wa ta’ala (syariat-Nya), niscaya Dia akan berada di hadapanmu (menolongmu). Jika kamu memohon sesuatu, mohonlah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Jika kamu meminta pertolongan, mintalah tolong kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Ketahuilah, jika seandainya umat manusia bersatu-padu untuk memberikan suatu kemanfaatan kepadamu, niscaya tak dapat memberikan kemanfaatan itu kepadamu kecuali jika Allah subhanahu wa ta’ala menakdirkannya untukmu. Jika seandainya mereka bersatu-padu untuk memberikan suatu kemudharatan kepadamu, niscaya tak dapat memberikan kemudharatan itu kepadamu kecuali jika Allah subhanahu wa ta’ala menakdirkannya atasmu. Telah diangkat pena, dan telah kering lembaran-lembaran (takdir).” (HR. at-Tirmidzi no. 2516 dari Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma; dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan at-Tirmidzi no. 2516, al-Misykah no. 5302, dan Zhilal al-Jannah no. 316—318)

Lihatlah pula pendidikan adab yang diberikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Umar bin Abi Salamah radhiallahu ‘anhuma, putra bawaan dari istri beliau, Ummu Salamah radhiallahu ‘anha, yang berada dalam asuhan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Umar bin Abi Salamah radhiallahu ‘anhuma menuturkan, “Kala itu aku adalah seorang anak kecil yang hidup dalam asuhan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika aku makan (bersama beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam) tanganku bergerak ke berbagai sisi nampan ke mana aku suka. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku,

يَا غُلاَمُ، سَمِّ اللهَ، وَكُلْ بِيَمِينِكَ، وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ

“Hai anak, ucapkan bismillah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah dari sisi yang terdekat denganmu!” (HR. al-Bukhari no. 5376 dan Muslim no. 2022)

Dari nilai-nilai keteladanan di atas dapat diambil pelajaran berharga bahwa di antara sisi terpenting yang harus diperhatikan oleh setiap orang tua dalam pendidikan buah hatinya adalah norma-norma luhur kerohaniannya; akidah, ibadah, akhlak, dan manhaj.

Dengan demikian, si buah hati akan menjadi pribadi mulia yang terdidik dan sekaligus memahami hak yang harus ditunaikannya, baik terkait dengan hak Allah subhanahu wa ta’ala selaku penciptanya, hak kedua orang tuanya, maupun hak orang lain selaku partner interaksinya dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.


Urgensi Memahami Lingkungan Pendidikan Si Buah Hati

Hal penting yang harus diketahui dan diperhatikan oleh setiap orang tua bahwa seorang anak tak selalu hidup bersamanya di rumah. Cepat atau lambat dia akan berinteraksi dengan lingkungan di luar rumahnya dari radius yang terdekat hingga yang berikutnya dan berikutnya.

Maka dari itu, setiap orang tua harus memahami dan peduli dengan lingkungan yang mengitari buah hatinya. Sebab, lingkungan juga mempunyai pengaruh yang besar bagi kehidupan seorang anak, baik ke arah positif maupun negatif.

Adakalanya seorang anak tergolong baik dan taat, lantas menjadi rusak manakala berinteraksi dengan lingkungan yang jelek. Adakalanya pula seorang anak tergolong kurang baik, lantas menjadi baik manakala berinteraksi dengan lingkungan yang baik. Tentu saja, semua itu dengan seizin Allah subhanahu wa ta’ala.

Di antara lingkungan si buah hati yang harus diperhatikan oleh setiap orang tua setelah lingkungan intern keluarganya adalah,


1) Lingkungan belajar (sekolah dan yang semisalnya)

Bentuk perhatiannya, dengan cara memilihkan lingkungan belajar yang tepat untuk buah hatinya. Sekolah yang berkualitas dan berpijak di atas manhaj yang lurus. Demikian pula para pengasuh dan gurunya dari kalangan orang-orang saleh, berpijak di atas manhaj yang lurus, dan berbudi pekerti yang luhur. Rajin mengontrolnya dan berkomunikasi secara intensif dengan para pengasuh dan gurunya terkait problem belajarnya.

Tak kalah pentingnya, perhatian terhadap majelis-majelis taklim yang dihadiri oleh si buah hati. Jangan sampai si buah hati terperangkap dalam majlis taklim yang mengajarkan kesesatan atau kebid’ahan. Mengajak kepada paham terorisme (Khawarij), pluralisme, dan paham sesat lainnya.


2) Lingkungan ibadah (masjid)

Bentuk perhatiannya, dengan cara memilihkan masjid yang tepat untuk buah hatinya. Masjid yang dibangun dan dimakmurkan di atas al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman as-salafus shalih. Masjid yang jauh dari ritual ibadah yang tak ada contohnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.


3) Lingkungan bermain

Bentuk perhatiannya, dengan cara memilihkan tempat bermain yang aman bagi mental anak (bersih dari pelanggaran syariat), aman bagi fisiknya, dan rajin mengontrol jalannya permainan tersebut.

4) Lingkungan pergaulan dan pertemanan

Bentuk perhatiannya, dengan cara memilihkan untuk si buah hati teman bergaul dan lingkungan pertemanan yang baik secara akidah, ibadah, akhlak, dan manhaj, serta rajin mengontrolnya.

Hati-hatilah! Pergaulan bebas dapat merusak masa depan si buah hati, termasuk pergaulannya di dunia maya (internet) yang sangat sulit pengontrolannya dan telah banyak memakan korban.

Rasulullah bersabda shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

“Seseorang tergantung agama teman akrabnya. Hendaknya salah seorang dari kalian memerhatikan siapa yang dijadikan sebagai teman akrab.” (HR. Abu Dawud dalam as-Sunan 2/293, at-Tirmidzi dalam as-Sunan 2/278, al-Hakim dalam al-Mustadrak 4/171 dan Ahmad dalam al-Musnad 2/303 dan 334 dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu. Lihat Silsilah al-Ahadits as-Shahihah no. 927)

Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Jika engkau melihat seorang pemuda di awal tumbuh kembangnya bersama Ahlus Sunnah wal Jamaah, optimislah akan keadaannya (di kemudian hari). Jika engkau melihat di awal tumbuh kembangnya bersama ahlul bid’ah, pesimislah akan keadaannya (di kemudian hari).” (al-Adab asy-Syar’iyyah 3/77, al-Imam Ibnu Muflih)

Wallahu a’lam.


Ditulis oleh Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi

Didukung oleh: WebMasterKHAS
Share:

Kalender Hijriyah

Paling Banyak Diakses

Radio Ar-Risalah Jombang

Radio Islam Indonesia